KORUPSI DALAM
PANDANGAN ISLAM
Hal
mendasar paling merugikan dalam tindak pidana korupsi adalah merampas hak-hak
orang lain. Bahkan bisa jadi seluruh rakyat merasakan dampak buruk korupsi,
sistem pemerintahan pun menjadi sangat terganggu. Dan unsur kerusakan yang
ditimbulkannya bisa sangat meluas. Lebih jauh lagi, dalam ajaran islam korupsi
merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip keadilan, akuntabilitas,
dan tanggung jawab. Korupsi dengan segala dampak negatifnya yang menimbulkan
berbagai distorsi, kerusakan terhadap negara dan masyarakat, dapat
dikategorikan termasuk berbuat kerusakan di muka bumi dan sangat dibenci Allah.
Menurut
Transparency International Indonesia (TII) tahun 2010 menyebutkan Indonesia
yang mayoritas penduduknya muslim, di tingkat Asia Tenggara, Indonesia
menduduki posisi ke empat dari 10 negara yang disurvai berdasarkan indeks
persepsi korupsi. Oleh karena itu, tinggi atau rendahnya korupsi tidak banyak
terkait dengan agama, tetapi lebih terkait dengan tatanan hukum yang jelas dan
penegakan hukum yang keras terhadap para koruptor. Harus diakui, agama lebih
merupakan imbauan moral, meskipun agama juga memberikan sanksi hukuman bagi
pelaku yang melakukan tindak kriminalitas seperti korupsi, hukuman ini umumnya
hanya berlaku di akherat kelak.
Ironis
jika ada orang berpendapat bahwa korupsi hanya merupakan dosa kecil dan biasa
saja terjadi, atau bahkan wajar bila dilakukan kalangan pejabat atau mantan
pejabat. Lebih naif lagi, pendapat semacam ini didukung kalangan agamawan
dengan mengemukakan konsep kafarah adz-dzunub,
penebusan dosa atau sin loundering.
Hasilnya setelah sebagian koruptor diproses
secara hukum atau terbebas dari bidikan hukum, mereka merasa aman dan
tenang setelah “membayar”nya dengan banyak ibadah, seperti umroh, membantu kaum
dhuafa, fakir, miskin, anak yatim, membangun masjid, sholat dhuha dan
bersedekah.
Tentu saja cara berpikir dan pemahaman
semacam ini tidak tepat. Menganggap korupsi sebagai dosa kecil yang bisa
ditebus dengan sekedar beramal shaleh, shalat, umroh, atau bahkan hanya dengan
wudhu tidak bisa dibenarkan. Selama ini, korupsi dipandang sebagai dosa kecil yang masih
bisa diampuni, apalagi jika hasil korupsinya disisihkan untuk ibadah atau
sedekah bagi fakir miskin dan anak yatim. Kelak diakhirat, timbangan pahala
sedekah dari hasil korupsi bisa lebih berat dari sanksi dosanya. Jika demikian,
para koruptor dan penjahat politik bisa mendapat ampunan dan masuk surga.
Menganggap korupsi sebagai dosa kecil
yang mudah diampuni Tuhan, justru menghambat proses pemberantasan korupsi di
negeri ini. Harus ditekankan bahwa korupsi bukan dosa kecil, tetapi dosa besar
karena dampak negatifnya sangat besar bagi seluruh rakyat, negara dan bangsa.
Pemberantasan
korupsi harus memiliki basis teologis. Sebagaimana kesepakatan dua organisasi
Islam terbesar di Indonesia, yakni Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama yang
mengeluarkan fatwa bahwa korupsi adalah syirik yang tidak akan diampuni oleh
Allah SWT. Tanpa basis teologis demikian, dosa korupsi dapat diputihkan dengan
sedekah dan ibadah tertentu, apalagi jika dilakukan dalam situasi darurat.
Nilai
nilai ajaran Islam juga perlu ditekankan dan dikontekstualisasikan secara lebih
dan ekstra. Misalnya saja dengan mensosialisasikan hadist-hadist anti korupsi
seperti hadist tentang menjaga amanah. Sebagaimana yang diketahui bersama bahwa
semua tindakan korupsi dimulai dari penyalahgunaan amanah (abuse of trust),
yang menjalar menjadi penyalahgunaan
kekuasaan atau wewenang (abuse of power), baik dalam urusan
individu maupun publik. Amanah diyakini sebagai benteng anti korupsi yang
sangat kuat. Jika benteng amanah telah rusak, maka yang lain pun akan rusak.
Dalam ajaran Islam secara gamblang
mengharamkan bahkan mengutuk perbuatan korupsi, seperti tersirat dalam beberapa
beberapa ayat dalam Al-Qur’an, diantaranya :
1.
QS. Al-Anfal (8) ayat
27 :
“Hai
orang-orang beriman, janganlah kamu menkhianati Allah dan rasulnya (Muhammad)
dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercakan kepadamu,
sedang kamu mengetahui”
2.
QS Al-Anfal (8) ayat 58
:
“Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu
golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang
jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat”
3.
QS Al-Baqarah (2) ayat
188 :
"Dan janganlah sebagian kamu memakan harta
sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu
membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian
dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu
mengetahui"
4.
QS An-Nisa’ (4) ayat 29
:
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil,…..”
5.
QS An-Nisa’ (4) ayat 58
:
“Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah maha menengar lagi maha melihat”
6.
QS An-Nisa’ (4) ayat
107 :
“Dan
janganlah kamu berdebat (untuk membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu berkhianat lagi
bergelimang dosa”
7.
QS Al-Hajj (22) ayat 38
:
“Sesungguhnya
Allah membela orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
tiap-tiap orang yang berkhianat lagi mengingkari nikmat”
Selanjutnya,
dalam beberapa hadits, Rasulullah SAW bersabda :
1.
“Barangsiapa
yang kami pekerjakan pada suatu jabatan, kemudian kami beri gaji, malahan
diambilnya lebih dari itu, berarti penipuan”
(HR Abu Daud)
2.
“Allah
SWT melaknat orang yang menyuap, menerima suap, dan yang jadi perantara”(HR
Ahmad Hakim).
3.
“Terlaknatlah
orang yang disuap dan yang menyuap”(HR Ahmad).
4.
“Jika
amanah disia-siakan, maka tunggulah kehancuran. Kemudian dinyatakan :
“bagaimana maksud amanah disia-siakan itu? Rasul menjawab : “Jika suatu perkara
(amanat/pekerjaan) diserahkan pada orang yang tidak ahli (profesional, maka
tunggulah saat kehancuran” (HR Bukhori)
5.
:“Barangsiapa di
antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), lalu dia
menyembunyikan dari kami sebatang jarum atau lebih dari itu, maka itu adalah
ghulul (belenggu, harta korupsi) yang akan dia bawa pada hari kiamat” (HR
Adiy bin ‘Amirah Al Kindi)
PENJELASAN
FIRMAN ALLAH SWT DAN HADITS RASULULLAH SAW MENGENAI KORUPSI
Berdasarkan firman Allah SWT dan
Hadits Rasulullah tersebut di atas,
Hukum Islam, disyariatkan
Allah SWT untuk kemaslahatan manusia. Di antara kemaslahatan yang hendak
diwujudkan dengan pensyariatan hukum tersebut ialah terpeliharanya harta dari
pemindahan hak milik yang tidak menurut prosedur hukum, dan dari pemanfaatannya
yang tidak sesuai dengan kehendak Allah SWT. Oleh karena itu, larangan mencuri,
merampas, mencopet, dan sebagainya adalah untuk memelihara keamanan harta dari
pemilikan yang tidak sah. Larangan menggunakan sebagai taruhan judi dan
memberikannya kepada orang lain yang diyakini akan menggunakan dalam berbuat
maksiat, karena pemanfaatan yang tidak sesuai dengan kehendak Allah SWT jadikan
kemaslahatan yang dituju dengan tidak tercapai.
1.
Keharaman Korupsi Ditinjau Dari
Beberapa Segi
a.
Curang
Perbuatan korupsi merupakan perbuatan curang yang secara langsung
merugikan keuangan negara (masyarakat). Allah SWT memberi peringatan agar
kecurangan dan penipuan itu dihindari, seperti pada
firman-Nya, "Tidak
mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan rampasan perang. Barangsiapa yang
berkhianat dalam urusan harta rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia
akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu; kemudian tiap-tiap diri akan
diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal,
sedang mereka tidak dianiaya.” (QS. Ali Imran:161). Nabi Muhammad SAW telah menetapkan suatu peraturan
bahwa setiap kembali dari peperangan, semua harta rampasan baik yang kecil
maupun yang besar jumlahnya harus dilaporkan dan dikumpulkan di hadapan
pimpinan perang kemudian Rasulullah saw. membaginya sesuai dengan ketentuan
bahwa 1/5 dari harta rampasan itu untuk Allah SWT, Rasul, kerabat Rasul, anak
yatim, orang miskin, dan ibnu sabil, sedangkan siasanya (4/5 lagi) diberikan
kepada mereka yang berperang. (QS. Al-Anfal: 41).
b. Khianat
Berkhianat terhadap amanat adalah perbuatan terlarang dan
berdosa seperti ditegaskan Allah SWT dalam Alquran "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan
Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang
dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui” (QS. Al-Anfal: 27).
Pada ayat lain Allah SWT memerintahkan untuk memelihara dan menyampaikanamanat
kepada yang berhak menerimanya, seperti dalam ayat yang berbunyi "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan [menyuruh kamu] apabila menetapkan
hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil .”(QS. An-Nisa: 58). Kedua ayat ini mengandung
pengertian bahwa mengkhianati amanat
adalah terlarang lagi haram.Dalam ayat tersebut
Allah SWT mengeluarkan pernyataan bahwa, semua nabi Allah terbebas dari sifat
khianat, di antaranya dalam urusan rampasan perang. Menurut penjelasan Ibnu
Abbas RA, ayat ini diturunkan pada saat (setelah) perang Badar, orang-orang
kehilangan sepotong kain tebal hasil rampasan perang. Lalu sebagian mereka,
yakni kaum munafik mengatakan, bahwa mungkin Rasulullah telah mengambilnya.
Maka Allah SWT menurunkan ayat ini untuk menunjukkan jika Rasulullah SAW
terbebas dari tuduhan tersebut. Ibnu Katsir menambahkan, pernyataan dalam ayat
tersebut merupakan pensucian diri Rasulullah dari segala bentuk khianat dalam
penunaian amanah, pembagian rampasan perang, maupun dalam urusan lainnya. Hal
itu, karena berkhianat dalam urusan apapun merupakan perbuatan dosa besar.
Semua nabi Allah ma’shum (terjaga) dari perbuatan seperti itu. Mengenai
besarnya dosa perbuatan ini, dapat kita pahami dari ancaman yang terdapat dalam
ayat di bawah ini, yaitu ketika Allah mengatakan : “Barangsiapa yang berkhianat (dalam urusan rampasan perang itu), maka
pada hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu …” Ibnu
Katsir mengatakan di dalamnya terdapat ancaman yang keras bagi yang
melakukannya.
c. Aniaya (Dholim)
Perbuatan korupsi untuk memperkaya
diri dari harta negara adalah perbuatan lalim (aniaya), karena kekayaan negara
adalah harta yang dipungut dari masyarakat termasuk masyakarat yang miskin dan
buta huruf yang mereka peroleh dengan susah payah. Oleh karena itu, amatlah
lalim seorang pejabat yang memperkaya dirinya dari harta masyarakat tersebut,
sehinga Allah SWT memasukkan mereka ke dalam golongan yang celaka besar, sebagaimana
firmanNya, “kecelakaan besarlah bagi
orang-orang lalim yakni siksaan di hari yang pedih." (QS. Az-Zukhruf: 65).
d. Suap dan Gratifikasi
Istilah lain yang serupa dengan korupsi tetapi tak sama
adalah risywah/suap menyuap. Jika ghulul dilakukan oleh satu pihak yang
aktif, risywah dilakukan oleh dua pihak yang sama-sama aktif dan
sama-sama berkepentingan. Orang yang menyuap disebut dengan ar-rasyi dan
yang meminta atau menerima suap disebut dengan al-murtasyi. Risywah sangatlah
berbahaya bagi kehidupan masyarakat, karena dapat merusak sistem yang adil dan
dapat memutarbalikan fakta dan kebenaran. Risywah dapat mengahambat
nilai profesionalitas, merusak martabat pihak lain, dan menurunkan standar
kualitas. Betapa tidak, masyarakat menjadi tidak jujur dalam menilai sesuatu,
menyebabkan biaya tinggi dan dapat mempengaruhi keputusan seseorang. Dalam
kehidupan politik, suap sering dikenal sebagai money politics (politik
uang). Artinya, dengan menggunakan kekuatan uang (dan sejenisnya) keputusan
atau pilihan seseorang dapat berubah. Suap seringkali digunakan untuk
mengurangi hukuman seseorang, bahkan membebaskannya dari tuntutan
hukum.Hadist-hadist tentang risywah, antara lain:
Bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Allah SWT melaknat orang yang menyuap
dan orang yang disuap terkait masalah hukum/kebijakan.”
Hadist ini menjelaskan bahwa Allah SWT melaknat orang yang
menyuap dan menerima suap dalam masalah hukum atau kebijakan.
Dalam riwayat lain disebutkan Rasulullah SAW bersabda: “ Laknat Allah
untuk orang yang memberi suap dan yang menerima suap.” (HR. Ahmad dan Ibnu
Majjah)
e. Penipuan
Dalam
lingkup masyarakat bawah, mungkin pernah atau bahkan banyak kita jumpai,
seseorang yang mendapat amanah untuk membelanjakan sesuatu, kemudian setelah
dibelanjakan, uang yang diberikan pemiliknya masih tersisa, tetapi dia tidak
memberitahukan adanya sisa uang tersebut, meskipun hanya seratus rupiah,
melainkan masuk ke ‘saku’nya, atau dengan cara memanipulasi nota belanja.
Adapun koruptor kelas kakap, maka tidak tanggung-tanggung yang dia ambil sampai
milyaran bahkan triliyunan. Sejauh mana bahaya perbuatan ini? Rasulullah
bersabda dari ‘Adiy bin ‘Amirah Al Kindi Radhiyallahu 'anhu berkata :“Barangsiapa
di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), lalu dia
menyembunyikan dari kami sebatang jarum atau lebih dari itu, maka itu adalah
ghulul (belenggu, harta korupsi) yang akan dia bawa pada hari kiamat”. Maka ada seorang lelaki hitam dari Anshar
berdiri menghadap Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu dia berkata,"Wahai Rasulullah,
copotlah jabatanku yang engkau tugaskan." Nabi SAW bertanya,"Ada apa
gerangan?” Dia menjawab,"Aku mendengar engkau berkata demikian dan
demikian (maksudnya perkataan di atas)." Beliau pun berkata,"Aku
katakan sekarang, (bahwa) barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk
suatu pekerjaan (urusan), maka hendaklah dia membawa (seluruh hasilnya),
sedikit maupun banyak. Kemudian, apa yang diberikan kepadanya, maka dia (boleh)
mengambilnya. Sedangkan apa yang dilarang, maka tidak boleh. ”Nabi SAW
menyampaikan peringatan atau ancaman kepada orang yang ditugaskan untuk
menangani suatu pekerjaan (urusan), lalu ia mengambil sesuatu dari hasil
pekerjaannya tersebut secara diam-diam tanpa seizin pimpinan atau orang yang
menugaskannya, di luar hak yang telah ditetapkan untuknya, meskipun hanya
sebatang jarum. Maka, apa yang dia ambil dengan cara tidak benar tersebut akan
menjadi belenggu, yang akan dia pikul pada hari Kiamat. Yang dia lakukan ini
merupakan khianat (korupsi) terhadap amanah yang diembannya. Dia akan dimintai
pertanggungjawabnya nanti pada hari kiamat.
f. Penggelapan
(ghulul)
Selain itu, perbuatan
korupsi (ghulul) ini termasuk dalam kategori memakan harta manusia dengan cara
batil yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana dalam firmanNya :
QS al Baqarah (2) ayat 188 "Dan janganlah sebagian kamu memakan harta
sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu
membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian
dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu
mengetahui" dan An-Nisa ayat 29 "Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
batil…" Adapun larangan berbuat ghulul (korupsi) yang datang dari
Nabi seperti tersebut pada Haditr diatas.Firman Allah dan Hadits di atas
intinya berisi larangan berbuat ghulul (korupsi), yaitu mengambil harta di luar
hak yang telah ditetapkan, tanpa seizin pimpinan atau orang yang menugaskannya.
Asy Syaukani menjelaskan, dalam hadits ini terdapat dalil tidak halalnya
(haram) bagi pekerja (petugas) mengambil tambahan di luar imbalan (upah) yang
telah ditetapkan oleh orang yang menugaskannya, dan apa yang diambilnya di luar
itu adalah ghulul.Dalam hadits tersebut, Rasulullah SAW menyampaikan secara
global bentuk pekerjaan atau tugas yang dimaksud. Ini dimaksudkan untuk
menunjukkan bahwa peluang melakukan korupsi (ghulul) itu ada dalam setiap
pekerjaan dan tugas, terutama pekerjaan dan tugas yang menghasilkan harta atau
yang berurusan dengannya. Misalnya, tugas mengumpulkan zakat harta, yang bisa
jadi bila petugas tersebut tidak jujur, dia dapat menyembunyikan sebagian yang
telah dikumpulkan dari harta zakat tersebut, dan tidak menyerahkan.
Peluang melakukan
korupsi ada di setiap tempat, pekerjaan ataupun tugas, terutama yang
diistilahkan dengan tempat-tempat “basah”. Untuk itu, setiap muslim harus
selalu berhati-hati, manakala mendapatkan tugas-tugas. Dengan mengetahui
pintu-pintu ini, semoga kita selalu waspada dan tidak tergoda, sehingga
nantinya mampu menjaga amanah yang menjadi tanggung jawab. Beberapa pintu-pintu korupsi pada zaman Rasulullah SAW
yang pernah terjadi dan yang masih didapati pada saat sekarang diantaranya
:
-
Saat pengumpulan harta
rampasan perang, sebelum harta tersebut dibagikan.
Nabi SAW menceritakan :"Ada seorang nabi berperang, lalu ia berkata kepada kaumnya : "Tidak boleh mengikutiku (berperang) seorang yang telah menikahi wanita, sementara ia ingin menggaulinya, dan ia belum melakukannya; tidak pula seseorang yang yang telah membangun rumah, sementara ia belum memasang atapnya; tidak pula seseorang yang telah membeli kambing atau unta betina yang sedang bunting, sementara ia menunggu (mengharapkan) peranakannya". Lalu nabi itu pun berperang dan ketika sudah dekat negeri (yang akan diperangi) tiba atau hampir tiba shalat Ashar, ia berkata kepada matahari : "Sesungguhnya kamu diperintah, dan aku pun diperintah. Ya Allah, tahanlah matahari ini untuk kami," maka tertahanlah matahari itu hingga Allah membukakan kemenangan baginya. Lalu ia mengumpulkan harta rampasan perang. Kemudian datang api untuk melahapnya, tetapi api tersebut tidak dapat melahapnya. Dia (nabi itu) pun berseru (kepada kaumnya): "Sesungguhnya di antara kalian ada (yang berbuat) ghulul (mengambil harta rampasan perang secara diam-diam). Maka, hendaklah ada satu orang dari setiap kabilah bersumpah (berbai’at) kepadaku," kemudian ada tangan seseorang menempel ke tangannya (berbai’at kepada nabi itu), lalu ia (nabi itu) berkata,"Di antara kalian ada (yang berbuat) ghulul, maka hendaknya kabilahmu bersumpah (berbai’at) kepadaku," kemudian ada tangan dari dua atau tiga orang menempel ke tangannya (berbai’at kepada nabi itu), lalu ia (nabi itu) berkata,"Di antara kalian ada (yang berbuat) ghulul," maka mereka datang membawa emas sebesar kepala sapi, kemudian mereka meletakkannya, lalu datanglah api dan melahapnya. Kemudian Allah menghalalkan harta rampasan perang bagi kita (karena) Allah melihat kelemahan kita.
Nabi SAW menceritakan :"Ada seorang nabi berperang, lalu ia berkata kepada kaumnya : "Tidak boleh mengikutiku (berperang) seorang yang telah menikahi wanita, sementara ia ingin menggaulinya, dan ia belum melakukannya; tidak pula seseorang yang yang telah membangun rumah, sementara ia belum memasang atapnya; tidak pula seseorang yang telah membeli kambing atau unta betina yang sedang bunting, sementara ia menunggu (mengharapkan) peranakannya". Lalu nabi itu pun berperang dan ketika sudah dekat negeri (yang akan diperangi) tiba atau hampir tiba shalat Ashar, ia berkata kepada matahari : "Sesungguhnya kamu diperintah, dan aku pun diperintah. Ya Allah, tahanlah matahari ini untuk kami," maka tertahanlah matahari itu hingga Allah membukakan kemenangan baginya. Lalu ia mengumpulkan harta rampasan perang. Kemudian datang api untuk melahapnya, tetapi api tersebut tidak dapat melahapnya. Dia (nabi itu) pun berseru (kepada kaumnya): "Sesungguhnya di antara kalian ada (yang berbuat) ghulul (mengambil harta rampasan perang secara diam-diam). Maka, hendaklah ada satu orang dari setiap kabilah bersumpah (berbai’at) kepadaku," kemudian ada tangan seseorang menempel ke tangannya (berbai’at kepada nabi itu), lalu ia (nabi itu) berkata,"Di antara kalian ada (yang berbuat) ghulul, maka hendaknya kabilahmu bersumpah (berbai’at) kepadaku," kemudian ada tangan dari dua atau tiga orang menempel ke tangannya (berbai’at kepada nabi itu), lalu ia (nabi itu) berkata,"Di antara kalian ada (yang berbuat) ghulul," maka mereka datang membawa emas sebesar kepala sapi, kemudian mereka meletakkannya, lalu datanglah api dan melahapnya. Kemudian Allah menghalalkan harta rampasan perang bagi kita (karena) Allah melihat kelemahan kita.
-
Seseorang yang diberi
tugas mengumpulkan zakat maal oleh seorang pemimpin negeri, jika tidak jujur,
sangat mungkin ia mengambil sesuatu dari hasil (zakat maal) yang telah
dikumpulkannya, dan tidak menyerahkannya kepada pemimpin yang menugaskannya.
Atau dia mengaku yang dia ambil adalah sesuatu yang dihadiahkan kepadanya.
Peristiwa semacam ini pernah terjadi pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam.Kemudian pada malam harinya selepas shalat Isya’ Nabi SAW berceramah
(untuk memperingatkan perbuatan ghulul kepada khalayak). Di antara isi
penjelasan beliau mengatakan : "(Maka)
Demi (Allah), yang jiwa Muhammad berada di tanganNya. Tidaklah seseorang dari
kalian mengambil (mengkorupsi) sesuatu daripadanya (harta zakat), melainkan dia
akan datang pada hari Kiamat membawanya di lehernya. Jika (yang dia ambil)
seekor unta, maka (unta itu) bersuara. Jika (yang dia ambil) seekor sapi, maka
(sapi itu pun) bersuara. Atau jika (yang dia ambil) seekor kambing, maka
(kambing itu pun) bersuara …"
-
Hadiah untuk petugas,
dengan tanpa sepengetahuan dan izin pemimpin atau yang menugaskannya.Dalam hal
ini, Nabi SAW pernah bersabda : "Hadiah untuk para petugas adalah
ghulul".
-
Setiap tugas apapun,
terutama yang berurusan dengan harta, seperti seorang yang mendapat amanah
memegang perbendaharaan negara, penjaga baitul maal atau yang lainnya, terdapat
peluang bagi seseorang yang berniat buruk untuk melakukan ghulul (korupsi),
padahal dia sudah memperoleh upah yang telah ditetapkan untuknya. Telah
disebutkan dalam hadits yang telah lalu, yaitu sabda Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam, yang artinya : “Barangsiapa
yang kami tugaskan dengan suatu pekerjaan, lalu kami tetapkan imbalan (gaji)
untuknya, maka apa yang dia ambil di luar itu adalah harta ghulul (korupsi)”
2.
Hukum
Memanfaatkan Hasil Korupsi
Istilah memanfaatkan mempunyai arti yang luas, termasuk
memakan, mengeluarkannya untuk kepentingan ibadahsosial. dan sebagainya.
Memanfaatkan harta kekayaan yang dihasilkan dari tindak pidana korupsi tidak
berbeda dengan memanfaatkan harta yang dihasilkan dengan cara-cara ilegal
lainnya, karena harta yang dihasilkan dari tindak korupsi sama dengan harta
rampasan, curian, hasil judi, dan sebagainya. Jika cara memperolehnya sama,
maka hukum memanfaatkan hasilnya pun sama. Dalam hal ini ulama fikih sepakat
bahwa memanfaatkan harta yang diperoleh dengan cara-cara yang ilegal
(terlarang) adalah haram, sebab pada prinsipnya harta itu bukanlah milik yang
sah, melainkan milik orang lain yang diperoleh dengan cara yang terlarang.
Dasar yang menguatkan pendapat ulama fikih ini antara lain
ialah firman Allah SWT: “Dan janganlah sebagian kamu memakan
harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan
(janganlah) kamu membawa (urusan) hartamu itu kepada hakim, supaya kamu dapat
memakan sebagian dari pada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat)
dosa, padahal kamu mengetahui.”(QS. Al-Baqarah: 188).
Pada ayat ini terdapat larangan memakan harta orang lain
yang diperoleh dengan cara-cara yang batil, termasuk di dalamnya mencuri,
menipu, dan korupsi.
Harta kekayaan yang diperoleh dari
tindak pidana korupsi dapat juga dianalogikan dengan harta kekayaan yang
diperoleh dengan cara riba, karena kedua bentuk perbuatan itu sama-sama
ilegal. Jika memakan harta yang diperoleh secara riba itu diharamkan(QS. Ali Imran: 130), maka memakan
harta hasil korupsi pun menjadi haram. Disamping itu ulama memakai kaidah fikih
yang menunjukkan keharaman memanfaatkan harta korupsi yaitu, "apa
yang diharamkan mengambilnya, maka haram memberikannya/memanfaatkannya”.
Oleh karena itu, seperti yang
ditegaskan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, selama suatu perbuatan dipandang haram,
maka selama itu pula diharamkan memanfaatkan hasilnya. Namun, jika
perbuatan itu tidak lagi dipandang haram, maka hasilnya boleh dimanfaatkan.
Selama hasil perbuatan itu diharamkan memanfaatkannya, selama itu pula
pelakunya dituntut untuk mengembalikannya kepada pemiliknya yang sah.
3.
Hukum Hasil Korupsi Untuk Sholat dan
Haji
Jika ulama fikih sepakat mengharamkan pemanfaatan harta
kekayaan yang diperoleh dengan cara korupsi, maka mereka berbeda pendapat
mengenai akibat hukum dari pemanfaatan hasil korupsi tersebut :
-
Mazhab Syafi’i, Mazhab Maliki, dan Mazhab Hanafi mengatakan bahwa shalat dengan
menggunakan kain yang diperoleh dengan cara yang batil (menipu/korupsi) adalah SAH
selama dilaksanakan sesuai dengan syarat dan rukun yang ditetapkan. Meskipun
demikian, mereka tetap berpendapat bahwa memakainya adalah dosa, karena kain
itu bukan miliknya yang sah. Demikian juga pendapat mereka tentang hajidengan
uang yang diperoleh secara korupsi, hajinya tetap dianggap sah, meskipun ia
berdosa menggunakan uang tersebut. Menurut mereka, keabsahan suatu amalan hanya
ditentukan oleh terpenuhinya rukun dan syarat amalan dimaksud.
-
Sedangkan menurut Imam
Ahmad bin Hanbal, shalat dengan menggunakan kain hasil korupsiTIDAK
SAH, karena menutup aurat dengan bahan yang suci adalah salah satu
syarat sah shalat. Menutup aurat dengan kain yang haram memakainya sama dengan
shalat memakai pakaian bernajis. Lagi pula shalat merupakan ibadah untuk mendekatkan
diri kepada Allah SWT. Oleh karena itu, tidak pantas dilakukan dengan
menggunakan kain yang diperoleh dengan cara yang dilarang Allah SWT. Menurut
Imam Ahmad bin Hanbal, haji yang dilakukan dengan uang hasil korupsi tidak sah.
la memperkuat pendapatnya dengan hadis yang menerangkan bahwa Allah SWT adalah
baik, dan tidak menerima kecuali yang baik (HR. At-Tabrani).
-
Nabi Muhammad saw. bersabda, "Jika seseorang pergi naik haji dengan biaya dari harta yang halal, maka
ketika ia mulai membacakan talbiah datang seruan dari langit, 'Allah akan
menyambut dan menerima kedatanganmu dan semoga kamu akan bahagia. Perbekalanmu
halal, kendaraanmu juga halal, maka hajimu diterima dan tidak dicampuri
dosa'.” Sebaliknya bila pergi dengan harta yang haram, lalu ia mengucapkan
talbiah maka datang seruan dari langit, 'Tidak
diterima kunjunganmu dan kamu tidak berbahagia. Perbekalanmu haram, belanjamu
dari yang haram, maka hajimu berdosa, jauh dari pahala (tidak diterima)’.”(HR. At-Tabrani).
Atas
dasar logika dan hadis tersebutlah Imam Ahmad bin Hanbal mengambil kesimpulan
tentang tidak sahnya ibadah dengan menggunakan perlengkapan hasil korupsi.
4.
Hukuman
Bagi Yang memanfaatkan Hasil Korupsi Di Akherat
Tidaklah Allah melarang
sesuatu, melainkan di balik itu terkandung keburukan dan mudharat (bahaya) bagi
pelakunya. Begitu pula dengan perbuatan korupsi (ghulul), tidak luput dari
keburukan dan mudharat diantaranya :
-
Pelaku ghulul (korupsi)
akan dibelenggu, atau ia akan membawa hasil korupsinya pada hariKiamat,
sebagaimana ditunjukkan dalam surat Ali Imron
ayat 161 dan hadits ‘Adiy bin ‘Amirah
di atas. Dan dalam hadits Abu Humaid as Sa’idi, Rasulullah SAW bersabda
: "Demi (Allah), yang jiwaku berada di tanganNya. Tidaklah seseorang
mengambil sesuatu daripadanya (harta zakat), melainkan dia akan datang pada
hari Kiamat membawanya di lehernya. Jjika (yang dia ambil) seekor unta, maka
(unta itu) bersuara. Jika (yang dia ambil) seekor sapi, maka (sapi itu pun)
bersuara. Atau jika (yang dia ambil) seekor kambing, maka (kambing itu pun)
bersuara …”
-
Perbuatan korupsi
menjadi penyebab kehinaan dan siksa api neraka pada hari Kiamat.Dalam hadits
Ubadah bin ash Shamit, bahwa Nabi SAW:"…(karena) sesungguhnya ghulul
(korupsi) itu adalah kehinaan, aib dan api neraka bagi pelakunya".
-
Orang yang mati dalam
keadaan membawa harta ghulul (korupsi), ia tidak mendapat jaminan atau
terhalang masuk surga. Hal itu dapat dipahami dari sabda Nabi SAW :"Barang
siapa berpisah ruh dari jasadnya (mati) dalam keadaan terbebas dari tiga
perkara, maka ia (dijamin) masuk surga. Yaitu kesombongan, ghulul (korupsi) dan
hutang".
-
Allah tidak menerima
shadaqah seseorang dari harta ghulul (korupsi), sebagaimana dalam sabda Nabi
SAW. "Shalat tidak akan diterima tanpa bersuci, dan shadaqah tidak
diterima dari harta ghulul (korupsi)
-
Harta hasil korupsi
adalah haram, sehingga ia menjadi salah satu penyebab yang dapat menghalangi
terkabulnya do’a, sebagaimana dipahami dari sabda Nabi SAW :"Wahai
manusia, sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya
Allah memerintahkan orang-orang yang beriman dengan apa yang Allah perintahkan
kepada para rasul. Allah berfirman,"Wahai para rasul, makanlah dari yang
baik-baik dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa
yang kalian kerjakan". Dia (Allah) juga berfirman: "Wahai orang-orang
yang beriman, makanlah yang baik-baik dari yang Kami rizkikan kepada
kamu," kemudian beliau (Rasulullah)
menceritakan seseorang yang lama bersafar, berpakaian kusut dan berdebu.
Dia menengadahkan tangannya ke langit (seraya berdo’a): "Ya Rabb…, ya
Rabb…," tetapi makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan
dirinya dipenuhi dengan sesuatu yang haram. Maka, bagaimana do’anya akan
dikabulkan?
5.
Hukuman Bagi
Koruptor Di Dunia
-
Wewenang Hakim
Ulama fikih telah membagi tindak pidana Islam kepada tiga
kelompok, yaitu tindak pidana hudud, tindak pidana pembunuhan,
dan tindak pidana takzir (jarimah). Tindak pidana korupsi termasuk dalam
kelompok tindak pidana takzir. Oleh sebab itu, penentuan hukuman, baik
jenis. bentuk, dan jumlahnya didelegasikan syara' kepada hakim. Dalam
menentukan hukuman terhadap koruptor, seorang hakim harus mengacu kepada tujuan
syara' dalam menetapkan hukuman, kemaslahatan masyarakat, situasi dan kondisi
lingkungan, dan situasi serta kondisi sang koruptor, sehingga sang koruptor
akan jera melakukan korupsi dan hukuman itu juga bisa sebagai tindakan
preventif bagi orang lain.
-
Usulan Hukuman Mati
Hukuman bagi koruptor selama ini tak mendatangkan efek jera.
Karena itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) merekomendasikan agar pelaku korupsi
dihukum mati. Rekomendasi itu disampaikan dalam Rapat Kerja Nasional
(Rakernas) MUI. Selain mendorong pemberlakuan hukuman paling berat itu, MUI
juga mengusulkan agar terpidana korupsi dihukum kerja sosial. “MUI mendorong
majelis hakim pengadilan tipikor menjatuhkan hukuman seberat-beratnya kepada
koruptor kakap, bahkan hukuman mati. MUI juga merekomendasikan kerja sosial,
selain pidana penjara. Mereka juga harus membersihkan fasilitas publik, seperti
pasar, terminal, lapangan, panti asuhan, dan sebagainya untuk memberi efek jera
dan mencegah masyarakat agar tidak mengikuti jejak para koruptor,” kata Ketua
MUI Amidhan saat membacakan rekomendasi. Menurut Amidhan, begitu besar
desakan masyarakat kepada MUI agar mengeluarkan seruan supaya koruptor mendapat
hukuman yang memberi efek jera, mengingat kejahatan korupsi demikian masif di
negeri ini.”Masyarakat menilai selama ini para koruptor tetap bisa hidup nyaman
di tahanan, karena bisa membeli fasilitas dari oknum-oknum di penjara, sehingga
tidak ada efek jera,” kata dia. Amidhan juga mengatakan, MUI mendorong agar
majelis hakim konsisten menetapkan putusan untuk menyita seluruh harta hasil
korupsi.
-
Masyarakat menghendaki Hukuman
Mati
Sebelum ini, usulan hukuman mati bagi koruptor sebenarnya
telah disampaikan sejumlah lembaga dan aktivis antikorupsi. Musyawarah Nasional
Alim Ulama Nahdlatul Ulama, tahun lalu, menyampaikan fatwa serupa. Sekjen PBNU
Marsudi Syuhud saat itu mengatakan, usulan tersebut merupakan masukan warga
nahdliyyin di tingkat ranting. Menurutnya, para pelaku korupsi cenderung tidak
punya rasa malu lagi, bahkan tak jarang mencalonkan diri untuk meraih jabatan
di pemerintahan.
-
Komitmen KPK
Rekomendasi itu kemudian disampaikan kepada Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono. Namun, hingga kini belum ada realisasi. Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) menyatakan sepakat dengan hukuman mati bagi koruptor. UU Nomor 31
Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi memungkinkan penerapan hukuman itu. ”Hukuman
mati dimungkinkan dalam Pasal 2 UU Tipikor,” kata Kepala Biro Humas KPK Johan
Budi.
إرسال تعليق