BAB 6
KELUARGA DAN SEKOLAH SEBAGAI PILAR PEMBUDAYAAN
PERILAKU ANTI KORUPSI

A.       PENDIDIKAN MORAL SEBAGAI LANGKAH AWAL
Pendidikan sejatinya merupakan faktor pertama untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, juga mempunyai integritas moral yang tinggi. Oleh karena itu, maju mundurnya suatu bangsa sangat ditentukan oleh maju mundurnya pendidikan. Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intellect) dan jasmani anak-anak, selaras dengan alam dan masyarakatnya. Sedangkan di dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 ditegaskan bahwa, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat.
Agar anak terlibat dalam proses pembudayaan nilai moral diperlukan adanya proses pembelajaran yang memfasilitasi pengalaman mereka untuk mengetahui nilai moral, mempraktekkan nilai moral, dan terbiasa berbuat sesuai dengan aturan moral yang berlaku. Dalam kaitan ini UNESCO (United Nations for Education Scientific and Cultural Organization) mengusulkan empat pilar belajar, yaitu: “learning to know, learningto do, learning to be, and learning to live together.” (UNESCO, 1996). Penerapan empat pilar tersebut dalam proses pembelajaran memungkinkan anak menguasai cara memperoleh pengetahuan, berkesempatan menerapkan pengetahuan yang dipelajarinya, dan berkesempatan untuk berinteraksi secara aktif dengan sesama anak sehingga dapat menemukan dirinya. Model pembelajaran seperti ini hanya dapat berlangsung dengan tenaga guru yang penuh konsentrasi, peralatan yang memadai, materi yang terpilih, dan waktu yang cukup tanpa harus mengejar target ujian nasional.
Ada kesan kuat bahwa baik guru, orang tua, maupun murid selalu didorong untuk mengejar dan menghimpun informasi keilmuan sebanyak mungkin namun melupakan aspek pendidikan yang fundamental, yaitu bagaimana menjalani hidup dengan terhormat. Ketika pendidikan tidak lagi menempatkan prinsip-prinsip moralitas agung sebagai basisnya, maka akan menghasilkan orang yang selalu mengejar materi dan pemenuhan tuntutan physical happiness yang durasinya hanya sesaat dan potensial membunuh nalar yang sehat dan nurani terdalam (Hidayat, 2003). Pendidikan yang sehat adalah yang secara sadar membantu anak  bisa merasakan, menghayati dan menghargai jenjang makna hidup dari yang bersifat fisikal sampai yang estetikal, moral dan spiritual (Bertens, 2000). Selama ini dalam teori pendidikan terdapat tiga domain dalam taksonomi tujuan pendidikan:
1.      Domain kognitif
Menekankan aspek untuk mengingat dan mereproduksi informasi yang telah dipelajari, yaitu untuk mengkombinasikan cara-cara kreatif dan mensintesiskan ide-ide dan materi baru.
2.      Domain kreatif
Menekankan aspek emosi, sikap, apresiasi nilai atau tingkat kemampuan menerima atau menolak sesuatu.
3.      Domain psikomotorik
Menekankan pada tujuan untuk melatih ketrampilan seperti menulis, teknik mengajar, berdagang, dan lain-lain.
Dari ketiga domain pendidikan itu  idealnya selaras dan saling melengkapi (Helmiati, 2007). Tapi kenyataannya,hubungan antara perubahan sikap (efektif)  dan meningkatnya ilmu pengetahuan (kognitif) secara statistik cenderung berdiri sendiri. Karena itu dalam penyelenggaraan pendidikan, jika dilihat dari tiga kerangka domain tersebut, ada hal-hal sangat problematis. Cenderung tidak terjadi keselarasan perimbangan antara ketiga aspek domain pendidikan tersebut. Terlihat ada kecenderungan di salah satu aspek, sedangkan  aspek yang lain terabaikan.
Contoh kasus pendidikan Islam di Indonesia, kondisi yang demikian itu diperparah adanya kekeliruan persepsi keagamaan. Dengan demikian, pendidikan Islam di Tanah Air menjadi terhenti dan cenderung tidak mampu menghadapi perubahan sosial. Hal demikian itu disebabkan persepsi keagamaan yang diajarkan tidak lagi kontektual dan tidak menyentuh permasyalahan kehidupan masyarakat. Musibah ini terjadi karena lagi-lagi orentasi pendidikan diarahkan pada pematangan aspek kognitif yang sangat kuat.
Pendidikan antikorupsi merupakan hal mendasar, mengingat tujuan dari pendidikan hanya mengembangkan dimensi koqnitif, tetapi juga dimensi afektif. Pendidikan karakter dan akhlak yang baik selama ini kurang mendapat penekanan dalam sistem pendidikan negara kita. Pelajaran PPKN, Agama atau Budi Pekerti selama ini dianggap tidak berhasil karena mengajarkannya sebatas teori tanpa adanya refleksi dari nilai-nilai pendidikan tersebut. Akibatnya anak tumbuh menjadi manusia yang tidak memiliki karakter, bahkan dinilai lebih buruk lagi menjadi manusia yang tidak memiliki karakter, bahkan di nilai lebih buruk lagi menjadi generasi yang tidak bermoral. Selama ini merosotnya kualitas pendidikan nasional hanya terfokus pada persoalan untuk menyiapkan anak agar mampu bersaing di era pasar global, sehingga yang disorot hanyalah hasil kelulusan (output) belaka.Sementara penanaman moral dan  pencapaian tujuan pendidikan nasional untuk mampu mencetak generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga cerdas secara emosionaldan spiritual menjadi terlupakan.
Pendidikan antikorupsi bagi pelajar adalah langkah awal yang ditempuh untuk mulai melakukan penanaman nilai ke arah yang lebih baik sejak usia muda. Anak adalah mereka yang dalam waktu relatif singkat akan segera bersentuhan dengan beberapa aspek pelayanan publik. Dengan demikian, apabila mereka dapat memahami lingkup, modus, dampak dari korupsi, baik dalam lingkup yang paling dekat dan dalam skala yang paling kecil hingga lingkup makro dan mencakup skala yang besar maka minimal mereka mulai berani berkata “tidak” untuk korupsi.
Namun apabila di runtut penyebab utamanya adalah pendidikan, yang di awali dari lingkungan keluarga, kemudian sekolah, dan masyarakat harus bersama-sama secara kolektif melakukan pembudayaan perilaku kejujuran dan keadilan, dalam kata lainnya pendidikan anti korupsi. Hal itu wajib di laksanakan jangan sampai problem yang sudah endemik ini dibiarkan begitu saja bahkan masuk kedalamnya. Perlu adanya gerakan nasional yang di awali dari pendidikan.
B.        PERAN KELUARGA DALAM PEMBUDAYAAN PERILAKU ANTIKORUPSI
Pada usia anak-anak, keluarga  mempunyai andil yang besar untuk memberi pesan moral.  Keberhasilan anak tidak hanya diukur dari tinggi rendahnya nilai, akan tetapi juga kejujuran, akhlak atau budi pekerti yang dimiliki. Menurut Syaharudin (2009) upaya pemberantasan korupsi dalam jangka panjang akan menuai keberhasilan apabila dilakukan dengan kombinasi antara represif, preventif dan edukatif secara integral.
Orang tua, meski bukan guru, semestinya juga seorang pendidik dan pembimbing bagi anak-anaknya. Tidak banyak orangtua yang menyadari hal itu, tetapi secara alamiah mereka pun akan menjadi pendidik dan pembimbing, karena para orangtua bertanggung jawab atas perkembangan keturunan mereka. Tumbuhnya watak pendidik (educator) dalam diri orang tua memang bersifat relatif. Ada orang yang menonjol (explicite)dalam sifat tersebut, ada pula yang tidak memperlihatkan sifat-sifat (implisite) pendidiknya, sekalipun sebenarnya memiliki potensi cukup besar, misalnya dilihat dari sudut jenjang pendidikan, ragam pekerjaan, dan tanggung jawab atas generasi penerus. Untuk menumbuhkan kemampuan mendidik ini, seseorang harus memiliki kesadaran yang tinggi sekaligus pengalaman hidup yang luas, dan bersedia untuk senantiasa selalu bersinggungan dengan masalah-masalah di sekitarnya. Pendidik memiliki sifat universal. Karena tanggung jawabnya, pendidik juga memiliki akses langsung terhadap bidang-bidang lain seperti manajemen (managerial) dan kepemimpinan (leadership). Menjadi pendidik, pemimpin dan guru, merupakan suatu proses berlanjut yang menempatkan pribadi manusia dalam satu hamparan kontinum menuju kesempurnaan hidup. Pendidik dan pemimpin adalah basis atau dasar bagi pembentukan konsep guru dan manager.
Pendidik dan pemimpin tampaknya harus memiliki sejumlah atribut yang muncul dari tempat di mana dia berada, yakni atribut yang lekat dengan peran yang dimainkan dalam proses pembudayaan dalam masyarakatnya. Pendidik dan pemimpin dengan begitu tumbuh dari kesadaran dari proses pendidikan yang secara informal dialami oleh manusia sepanjang hayatnya. Ia belajar tidak dari lembaga pendidikan formal tetapi dari lembaran-lembaran hidup yang telah dialaminya terus menerus. Apabila dicermati dari beberapa unsur kajian yang ada, yaitu posisi sosial, lingkar kekuasaan yang dirasakan, atribut, dominasi kekuatan, peran yang dimainkan, dan sumber kekuasaan, maka pendidik adalah manusia yang memiliki fungsi utama dalam dirinya untuk membudayakan secara konkret potensi yang ada, demi kepentingan bersama. Pendidik adalah manusia yang berhubungan dengan hati nurani, memiliki kesadaran budaya, dan memiliki aktualitas diri yang tinggi untuk menjadi (to-be) sekaligus memiliki (to-have).
Dari penyelidikan psikolog perkembangan Piaget dan Kohlberg (dalam Santrock, 2006) diketahui bahwa proses perkembangan moral adalah proses perkembangan otak. Karena itu perkembangan moral berhubungan erat dengan perkembangan kognitif seseorang. Anak-anak dan remaja membentuk pemikiran moral mereka seiring dengan perkembangan mereka dari tahap yang satu ke tahap berikutnya, dan bukan hanya bersikap pasif dengan menerima saja moralitas suatu kebudayaan. Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Usia 2 sampai 7 tahun
Dari penyelidikan diketahui bahwa anak diantara usia 2-7 tahun belum mampu membuat pertimbangan-pertimbangan tentang baik atau buruk suatu perbuatan. Mereka patuh untuk melakukan suatu perbuatan tertentu, tujuannya untuk menyenangkan orang tua dan mendapat pujian, serta tidak melakukan suatu perbuatan yang dilarang adalah karena takut akan hukuman. Mengajar anak kejujuran dalam fase ini dapat dilakukan terutama melalui penguatan positif terhadap kejujuran, dengan memuji dan menghargai perbuatan jujurnya dan penguatan negatif terhadap perbuatan tidak jujur dengan mencela dan menghukum perbuatan tidak jujur serta mengajar melalui peneladanan oleh orang tua atau guru.
2.      Usia 7 sampai 10 tahun
Anak usia ini mulai memahami dan mengunakan konsep. Maka konsep kejujuran mulai dapat diajarkan, demikian juga konsep tentang ketidakjujuran dan akibatnya. Hati nurani anak mulai terbentuk dan anak mulai mengetahui tentang baik buruknya sebuah perbuatan. Cara berpikirnya masih sangat terbatas terhadap perbuatan yang nyata (konkret) dan anak belum sanggup melihat dari sudut pandang orang lain. Mengajari anak tentang kejujuran dalam fase ini selain dengan peneladanan dan penguatan positif dan negatif, juga melalui cerita dan kasus nyata yang dapat dibayangkan anak. Lalu ditanyakan apa akibatnya dari perbuatan tidak jujur orang tersebut. Pada usia ini motivasi untuk melakukan hal yang baik sudah harus berpindah dari menyenangkan orang tua, kepada alasan bahwa melakukan perbuatan baik membawa rasa senang dan damai pada diri sendiri, karena sesuai dengan hati nuraninya.
3.      Usia 11 sampai 13 tahun
Pada usia ini, anak sudah mulai dapat berpikir kearah abstrak dan sanggup melihat dari sudut pandang orang lain. Ia sudah dapat membedakan motivasi yang ada dibelakang sebuah perbuatan dan dapat mempertimbangkan perbuatan dari segi motivasi atau niat itu.
4.      Usia 13 sampai dewasa
Remaja dan pemuda telah sanggup berpikir abstrak dan membuat hipotesa. Mereka mempunyai standar tentang yang baik atau buruk perbuatan dari diri mereka sendiri. Pada usia ini tingkah laku moral yang sesungguhnya baru timbul. Masa ini perlu digunakan baik-baik untuk menanamkan kesanggupan berpikir mandiri dan bertanggung jawab dalam membuat penalaran moral. Para remaja sanggup menginterpretasi penilaian moral dan menjadikannya sebagai nilai pribadi. Dari penelitian diketahui bahwa perkembangan mempribadikan konsep (internalisasi) terjadi melalui identifikasi dengan tokoh yang dianggap sebagai contoh atau model (hero worship).
Sampai sekarang tidak sedikit orang yang meyakini bahwa nilai itu berkembang dan dibina di sekitar keluarga, karena hubungan Insani antara orang tua dengan anak di keluarga sangat dekat sehingga memungkinkan terjadinya pewarisan nilai yang insentif dalam setiap aktivitasnya, baik melalui sikap dan perbuatan maupun pemikiran. Namun, menurut hasil penelitian Thomas Lickona (1991) ternyata bahwa orang tua hanya memiliki waktu yang sedikit seharinya untuk berdialog secara bermakna dengan anaknya. Akibatnya, menurut Louls Raths  (1978), kesempatan mendiskusikan kegiatan-kegiatan harian yang bermakna itu hilang. Akhirnya, anak akan menerima dan menginternalisasi nilai dari luar, salah satu diantaranya dari teman-teman sebaya.
Pergaulan dengan teman sebaya akan menambah pembendaharaan informasi yang akhirnya akan memengaruhi berbagai jenis kepercayaan yang dimiliki oleh anak (Djiwandono, 2004). Kumpulan kepercayaan yang dimiliki oleh anak akan membentuk sikap yang mendorong untuk memilih atau menolak sesuatu. Informasi, sikap dan kebiasaan teman sebaya sangat kuat pengaruhnya karena diantara mereka relatif lebih terbuka dan intensitas pergaulannya relatif sering, baik di sekolah maupun di lingkungan masyarakat. Kelompok sebaya mempunyai aturan main sendiri, dan anak cenderung menyesuaikan diri dengan aturan main tersebut dengan harapan agar diterima oleh kelompoknya. Jika nilai yang disampaikan teman sebaya tersebut negatif akan membiaskan internalisasi nilai-nilai luhur yang seharusnya mereka miliki.
Di samping itu, tokoh politik, selebritis, dan para pejabat publik merupakan salah satu bagian masyarakat yang dapat memengaruhi perilaku anak. Masing-masing figur dapat menawarkan nilai yang berbeda, bahkan tidak jarang perilaku yang diperlihatkan bertentangan dengan nilai-nilai luhur moralitas bangsa. Persoalan ini menambah kebingungan anak. Kebingungan anak terhadap nilai, diperluas dengan derasnya arus informasi dari media komunikasi.
C.       PERAN SEKOLAH DALAM PEMBUDAYAAN PERILAKU ANTIKORUPSI
Sekolah sebagai lingkungan kedua bagi anak, dapat menjadi tempat pembangunan karakter dan watak. Sekolah dapat memberikan nuansa yang mendukung upaya untuk menginternalisaksikan nilai-nilai dan etika yang hendak ditanamkan, termasuk di dalamnya perilaku antikorupsi. Upaya yang dapat dilakukan untuk penanaman pola pikir,  sikap dan perilaku antikorupsi yaitu melalui sekolah, karena sekolah adalah proses pembudayaan (Hassan, 2004:9).
Pendidik merupakan profesi yang mulia, pekerjaan yang bukan hanya mengajarkan menulis, membaca, menghitung, membedakan warna atau mengenal bentuk mata uang, akan tetapi pendidik adalah orang yang mentranformasikan pengetahuan (knowledge) sekaligus prilaku (behavior) kepada peserta didik. Kalau pengetahuan yang salah di transferkan kepada peserta didik tentunya itu dapat diperbaiki oleh waktu , akan tetapi kalau prilaku yang salah dan di justifikasi lalu ditansformasikan kepada peserta didik tentunya ini akan melahirkan generasi-generasi yang menyimpang. Dari sini muncul pameo, kalau profesi guru itu lebih bahaya dari pada dokter, artinya jika dokter salah dalam mendiagnosa penyakit seorang pasien dapat menyebabkan seorang pasien tersebut meninggal, sedangkan guru kalau salah dalam mentansformasikan ilmu dan prilaku akan “membunuh” empat puluh orang dalam satu lokal. Untuk itu pendidik/guru harus memiliki hati nurani.
Sadar atau tanpa sadar pendidik atau guru merupakan ujung tombak dari sebuah negara dalam pencapaian visi dan misi, hal ini menjadikan guru masuk kedalam system politik secara luas pada suatu Negara. Di Indonesia dalam pencapaian tujuan pendidikan nasional peran guru sangat signifikan, tapi ini terkadang tidak disadari oleh setiap guru. Pendidilan Nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Untuk mewujudkan cita-cita ini, diperlukan perjuangan seluruh lapisan masyarakat. Dilihat dari peran guru sebagai pelaksana tujuan Pendidikan Nasional, Pendidikan merupakan pilar tegaknya bangsa. Melalui pendidikanlah bangsa akan tegak mampu menjaga martabat. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi anak agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Visi dan misi pendidikan nasional telah menjadi rumusan dan dituangkan pada bagian “penjelasan” atas UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Visi dan misi pendidikan nasional ini adalah merupakan bagian dari strategi pembaruan sistem pendidikan.
Pendidikan nasional mempunyai visi terwujudnya system pendidikan sebaga pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga Negara Indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.Pendidikan di Indonesia tentunya mempunyai peranan penting dalam mengembangkan nilai-nilai antikorupsi. Karena manusia yang lahir melalui sektor pendidikan adalah manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, beriman, berakhlak mulia, memiliki kompetensi dan profesionalitas serta dapat menjadi warga negara yang bertanggung jawab. Di saat institusi lain tidak berdaya melakukan perlawanan terhadap korupsi, maka institusi pendidikan dapat dijadikan benteng terakhir tempat menyebarkan nilai-nilai antikorupsi. Dengan cara melakukan pembinaan pada aspek mental, spiritual dan moral anak. Pendidikan harus dijadikan sebagai pilar paling depan untuk mencegah korupsi dalam rangka menciptakan pemerintahan yang bersih dan baik (clean and good governance) untuk masa yang akan datang.
Saatnya dunia pendidikan mendorong upaya pemberantasan dan pencegahan praktik korupsi dengan serius. Institusi pendidikan diyakini sebagai tempat terbaik untuk menyebarkan dan menanamkan nilai-nilai antikorupsi. Peserta didik yang akan menjadi tulang punggung bangsa di masa mendatang sejak dini harus diajarkan untuk menjauhipraktik korupsi dan dapat turut aktif memeranginya. Dengan cara melakukan pembinaan pada aspek mental, spiritual dan moral (Prayitno, 2007).
Pendidikan adalah suatu proses belajar dan penyesuaian individu-individu secara terus-menerus terhadap nilai-nilai budaya dan cita-cita masyarakat. Suatu proses dimana suatu bangsa mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan kehidupan dan untuk memenuhitujuan hidup secara efektif dan efisien (Sanaky, 2009). Dalam rangka mencerdaskan kehidupan kearifan-kearifan lokal (Local Wisdoms)seperti menghargai pentingnya nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan integritas. Dilihat dari tujuannya, memasukkan pendidikan antikorupsi di sekolah merupakan gagasan yang sangat cerdas.Karena anak merupakan kelompok umur yang masih mungkin dibentuk semangat idealismenya. Menurut Hassan (2004:8) pendidikan antikorupsi di sekolah merupakan suatu langkah untuk memutus mata rantai agar korupsi pada saatnya kelak tidak lagi menjadi budaya. Untuk mencapai hal tersebut lingkungan sekolah harus bisa memberikan contoh-contoh nyata keluhuran perilaku, utamanya adanya keteladanan dari pendidik itu sendiri.
D.    KANTIN KEJUJURAN
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:68), jujur artinya lurus hati, tidak berbohong, tidak curang, tulus, dan ikhlas. Kejujuran dapat diartikan sifat keadaan jujur, ketulusan hati dan kelurusan hati. Menurut buku panduan Kantin Kejujuran tingkat pelajar terbitan Komisi Pemberantasan Korupsi salah satu nilai dasar yang perlu ditanamkan dalam pembentukan perilaku antikorupsi adalah nilai kejujuran. Apabila anak sejak dini memiliki dan mampu menerapkan nilai kejujuran di dalam keseharian, diharapkan untuk jangka waktu ke depan mereka mampu senantiasa berperilaku jujur. Kejujuran adalah nilai hidup yang bersifat universal. Setiap orang dari semua bangsa dan agama mengenal kejujuran walaupun tidak setiap orang sanggup dan berani melakukan. Mengajarkan nilai-nilai kejujuran sifatnya berjenjang sesuai dengan usia perkembangan anak.Pendidikan antikorupsi melalui pendidikan, salah satu caranya adalah mengasah kejujuran dan menumbuhkan mental antikorupsi di kalangan pelajar. Salah satu di antaranya yaitu melalui Kantin Kejujuran yang berada di lingkungan sekolah mulai dari tingkat Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas sampai Perguruan Tinggi. Kantin kejujuran bisa menjadi tempat pembelajaran bagi anak tentang pentingnya kejujuran terhadap diri sendiri, yang pada akhirnya akan bermuara kepada lahirnya generasi yang menghormati kejujuran sekaligus memunculkan generasi antikorupsi. Didalam mengembangkan kantin kejujuran sebagai salah satu strategi pendidikan antikorupsi, hal ini tentunya tidaklah mudah. Terutama faktor yang menjadi pendukung dan penghambat dalam pengembangan kantin kejujuran tersebut.
Pengembangan kantin kejujuran tersebut tentu tidak terlepas dari peran berbagai pihak dan kondisi lingkungan sekolah dalam mensosialisasikan serta menginternalisasikannya kepada siswa. Pengembangan kantin kejujuran tersebut dapat diterapkan dalam rangka menanamkan nilai-nilai kejujuran kepada anak sejak dini. Tantangannya kemudian adalah bagaimana mengembangkan dan memelihara kantin kejujuran dengan melestarikan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Memelihara dan memperkuat nilai-nilai kejujuran tersebut tentulah harus tercermin dalam keseluruhan proses penyelenggaraannya.
Pendirian ”kantin kejujuran” adalah suatu upaya yang sangat baik dalam melatih kejujuran para individu agar terbiasa berbuat jujur. Dilihat dari penamaan kantin tersebut tentunyapendirian kantin tersebut bertujuan untuk menanamkan kepada anak tentang arti penting sebuah kejujuran. Kantin kejujuran merupakan salah satu model atau strategi praktik pendidikan antikorupsi bagi anak di lingkungan sekolah. Nantinya anak akan dihadapkan pada dua pilihan yaitu ingin menerapkan kejujuran hati nuraninya atau tidak. Mentalitas siswa masih menjadi salah satu tantangan yang harus dihadapi dalam mengembangkan kantin kejujuran di sekolah. Eko S. Tjiptadi, selaku Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat KPK mengemukakan dalam peresmian kantin kejujuran di SMAN 1Ciparay di desa Pakutandang, Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung bahwa: Kantin kejujuran adalah sebuah model kantin yang dikelola oleh anak-anak sekolah dengan modal jujur. Setiap anak sekolah berhak terlibat untuk menjadi pengurus dan pengelola kantin kejujuran. Prinsip keterbukaan dan kejujuran menjadi ciri utama dari para pengelolanya (Pikiran Rakyat, 2008). Menurut Syaharudin (2009) kantinkejujuran dalam pelaksanaannya tersebut tidak dijaga oleh seorang pelayan toko atau kasir.Kantin dibiarkan terbuka tanpa penjaga. Melalui kantin kejujuran, siswa belajar berperilaku jujur dan bersikap patuh ketika tidak ada orang yang mengawasi. Belajar jujur kepada diri sendiri, secara langsung dapat menyentuh kesadaran dan sikap siswa. Dengan adanya kantin kejujuran di sekolah diharapkan siswa bisa kembali melatih hati nuraninya pada saat membeli sesuatu di kantin tanpa diawasi oleh penjaga. Kantin kejujuran bisa menjadi suatu terapi agar siswa nantinya tidak mempraktikkan korupsi karena tindakan itu bisa menghancurkan mental masyarakat dan negara. Sekolah diharapkan bisa menjadi contoh agar lulusannya bisa menjadi sumber daya manusia yang jujur sehingga dapat membantu perubahan positif di masyarakat (Tuti, 2009:2).Pendirian kantin kejujuran di sekolah merupakan sarana untuk membentuk sikap mental yang positif, dan kepribadian yang jujur di kalangan pelajar, sekaligus sebagai media yang cukup efektif dalam menumbuhkembangkan rasa tanggung jawab pada diri anak sebagai kader pemimpin bangsa dimasa yang akan datang. Dalam implementasi kantin kejujuran tersebut, para pelajar diberikan kesempatan untuk menentukan sikap, akan berbuat jujur atau melakukan kecurangan. Harus disadari bahwa moral generasi muda merupakan aset utama sebuah bangsa. Oleh karenanya, mempersiapkan sikap hidup dan perilaku jujur dengan moral yang baik dan mental yang bersih, akan menjadi cara yang efektif  dalam menanggulangi dan mencegah timbulnya koruptor di masa mendatang.

Kantin Kejujuran adalah salah satu contoh  penerapan kurikulum yang aplikatif dan efektif dalam pencegahan antikorupsi sebuah kantin yang diikelola oleh anak dengan tidak ada penunggu warung disana. Semua transaksi berjalan dengan swalayan dan kesadaran membayar berapa harga barang yang dibeli. Tidak ada yang mengawasi. Semua barang ditempel label harga dan pembeli membayar dengan sadar ke dalam kotakterbuka berisi uang. Jika uang yang dimasukkan perlu pengembalian, si pembeli mengambil kembalian sendiri. Semua transaksi berjalan tampa pengawasan, hanya berbekal kejujuran. Kantin ini akan melatih kejujuran, sebuah nilai kehidupan yang menjadi cikal bakal hidup terbebas dari korupsi. Evaluasinya, ketika uang itu tidak bertambah sesuai dengan terbelinya barang-barang yang ada di kantin tersebut, pendidikan antikorupsi belum berjalan sesuai dengan harapan, maka harus ada evaluasi lebih lanjut.

1 تعليقات

إرسال تعليق

أحدث أقدم