BAB 9
OTONOMI DAERAH DAN
A.
PENGERTIAN OTONOMI
DAERAH
Otonomi daerah secara
sederhana dapat diartikan sebagai hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangga
sendiri oleh satuan organisasi pemerintah di daerah. Otonomi daerahdiberikan
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dengan demikian berdasarkan prinsip
otonomi tersebut, maka ada keharusan dari pemerintah pusat untuk menyerahkan
sebagaian hak dan kewenangan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri tanpa campur tangan atau intervensi dari pihak lain termasuk pemerintah
pusat. Otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang dan kewajiban
daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah atas inisiatif atau
prakarsa sendiri tanpa instruksi pemerintah pusat.
Otonomi daerah adalah perwujudan pendelegasian wewenang
dan tanggung jawab serta mempunyai hubungan erat dengan desentralisasi. Mahfud MDmengatakan bahwa desentralisasi merupakan
penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk
mengatur dan mengurus daerah mulai dari kebijakan, perencanaan, sampai pada
implementasi dan pembiayaan dalam rangka demokrasi. Otonomi adalah adalah
wewenang yang dimiliki daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri dalam
rangka desentralisasi.
Secara klasik ada 4 bentuk pokok dari desentralisasi
sebagai berikut (Ratnawati, dalam Karim. 2003).
1.
Dekonsentrasi, adalah pengalihan beberapa wewenang atau tanggung jawab
administrasi di dalam (internal) suatu kementrian atau jawatan. Di sini tidak ada
transfer kewenangan yang nyata. Bawahan menjalankan kewenangan atas nama
atasannya dan bertanggung jawab kepada atasannya.
2.
Delegasi, adalah pelimpahan tanggung jawab fungsi-fungsi tertentu
kepada organisasi-organisasi di luar struktur birokrasi pemerintah dan
dikontrol secara tidak langsung oleh pemerintah pusat.
3.
Devolusi, adalah pembentukan dan pemberdayaan unit-unit
pemerintahan di tingkat lokal oleh pemerintah pusat dengan kontrol pusat
seminimal mungkin dan terbatas pada bidang-bidang tertentu saja
4.
Privatisasi/
debirokratisasi, adalah pelepasan semua
tanggung jawab fungsi-fungsi kepada organisasi-organisasi pemerintah atau
perusahaan-perusahaan swasta.
Secara politis devolusi dianggap sebagai desentralisasi
politik karena wewenang yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada daerah
adalah wewenang untuk mengambil keputusan-keputusan politik. Selain itu, juga
disebut democratic decentralization karena terjadinya penyerahan
wewenang/ kekuasaan kepada lembaga perwakilan rakyat daerah yang dipilih.
Selain itu, ternyata tidak semua bentuk desentralisasi
sejalan dengan proses demokratisasi. Dalam sistem yang non-demokratispun,
desentralisasi tetap bisa jalan. Tidak dapat dipungkiri bahwa dengan
desentralisasi dapat mendekatkan penyedia layanan publik (negara) pada konsumen
layanan publik (masyarakat). Disamping
itu, desentralisasi juga dapat
menimbulkan konflik negara dengan masyarakat di tingkat lokal menguat setelah
otonomi daerah berjalan (Karim, 2003).
B.
KELEBIHAN
DAN KELEMAHAN OTONOMI DAERAH
1.
Kelebihan Otonomi
Daerah
Kelebihan otonomi daerah adalah bahwa dengan
otonomi daerah maka pemerintah daerah
akan mendapatkan kesempatan untuk menampilkan identitas local yang ada di
masyarakat. Berkurangnya wewenang dan kendali pemerintah pusat mendapatkan
respon tinggi dari pemerintah daerah dalam menghadapi masalah yang berada di
daerahnya sendiri. Bahkan dana yang diperoleh lebih banyak dari pada yang
didapatkan melalui jalur birokrasi dari pemerintah pusat. Dana tersebut
memungkinkan pemerintah lokal mendorong pembangunan daerah serta membangun
program promosi kebudayaan dan juga pariwisata
Dengan
melakukan otonomi daerah maka kebijakan-kebijakan pemerintah akan lebih tepat
sasaran, hal tersebut dikarenakan pemerintah daerah cenderung lebih mengerti
keadaan dan situasi daerahnya, serta potensi-potensi yang ada di daerahnya dari
pada pemerintah pusat. Contoh di Maluku dan Papua program beras miskin yang
dicanangkan pemerintah pusat tidak begitu efektif, hal tersebut karena sebagian
penduduk disana tidak bisa mengkonsumsi beras, mereka biasa menkonsumsi sagu,
maka pemeritah disana hanya mempergunakan dana beras miskin tersebut untuk
membeli sayur, umbi, dan makanan yang biasa dikonsumsi masyarakat. Selain itu,
dengan system otonomi daerah pemerintah akan lebih cepat mengambil
kebijakan-kebijakan yang dianggap perlu saat itu, tanpa harus melewati prosedur
di tingkat pusat.
2.
Kelemahan
Otonomi Daerah
Kelemahan dari otonomi daerah adalah adanya
kesempatan bagi oknum-oknum di pemerintah daerah untuk melakukan tindakan yang dapat
merugikan Negara dan rakyat seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. Selain itu
terkadang ada kebijakan-kebijakan daerah yang tidak sesuai dengan konstitusi
Negara yang dapat menimbulkan pertentangan antar daerah satu dengan daerah
tetangganya. Hal tersebut dikarenakan dengan system otonomi daerah maka
pemerintah pusat akan lebih susah mengawasi jalannya pemerintahan di daerah,
selain itu karena memang dengan sistem.otonomi daerah membuat peranan pemeritah
pusat tidak begitu berarti.
Otonomi
daerah juga menimbulkan persaingan antar daerah yang terkadang dapat memicu
perpecahan. Contohnya jika suatu daerah sedang mengadakan promosi pariwisata,
maka daerah lain akan ikut melakukan hal yang sama seakan timbul persaiangan
binis antar daearah. Selain itu otonomi daerah membuat kesenjangan ekonomi yang
terlampau jauh antar daerah. Daerah yang kaya akan semakin gencar melakukan
pembangunan sedangkan daerah yang pendapatannya kurang akan tetap begitu-begitu
saja tanpa ada pembangunan. Hal ini sudah sangat menghawatirkan karena sudah melanggar pancasila sila ke-lima, yaitu
‘’Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia’’.
C.
OTONOMI DAERAH DAN POTENSI KORUPSI
Banyak orang mengatakan
otonomi daerah di Indonesia cukup baik secara konsepnya namun tidak dalam
prakteknya. Otonomi daerah yang
seharusnya mempermudah berkembangnya suatu daerah, disalahartikan sebagai upaya
mempermudah korupsi di tiap-tiap lini yang ada dalam struktural pemerintahan. Otonomi yang diberikan kepada daerah, pada dasarnya
berhubungan dengan semangat demokratisasi, dan berkaitan dengan usaha
optimalisasi pemberian pelayanan kepada masyarakat. Melalui otonomi daerah
masyarakat tidak hanya memiliki peluang yang lebih besar untuk berpartisipasi
dalam pemerintahan, tetapi juga memiliki akses yang lebih luas untuk ikut
mengawasi jalannya pemerintahan dan pembangunan. Dengan demikian, otonomi
daerah dapat berpengaruh positif terhadap terbangunnya pemerintah yang bersih
dan berwibawa.
Namun harus disadari adanya realitas bahwa otonomi daerah
juga dapat diikuti dengan berpindahnya tindak pidana korupsi, kolusi, dan
nepotisme dari pusat ke daerah. Sebagai bentuk pemencaran kekuasaan. Melalui
otonomi diharapkan tidak terjadinya penumpukan kekuasaan, yang secara teoritis
cenderung mendorong terjadinya korupsi.
Otonomi daerah dan desentralisasi kerap disebut sebagai
desentralisasi korupsi akibat berpindahnya penyelewengan kekuasaan dari pusat
ke daerah (Karim, 2003). Pelaksanaan otonomi daerah ditenggarai membawa problem
tersendiri bagi terjadinya praktek korupsi di daerah. Di berbagai daerah muncul
kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara negara di daerah.
Kasus-kasus tersebut dapat berupa penyimpangan administrasi (mal
administration), penggelembungan anggaran (mark up) oleh ekskutif
maupun legislatif, suap dan money politic (Kurniawan, dkk., 2003)
D.
BENTUK-BENTUK KORUPSI DI DAERAH
Data yang ada
menunjukkan, tren pemberantasan korupsi pada 2013 dan 2014 setidaknya 95 persen
kasus berlokasi di kabupaten, kota, dan provinsi. Kasus korupsi di daerah
umumnya memiliki banyak kesamaan dari sisi obyek dan modus, pelaku, serta
proses.Beberapahaldiantaranyaialah
:
1.
Obyek dan Modus Korupsi.
Bagi daerah yang
memiliki banyak sumber daya alam sasarannya berada di sektor pendapatan. Modus
korupsinya dengan obral perizinan, setoran liar, dan mark down pendapatan
daerah. Bagi daerah-daerah yang miskin sumber daya alam, konsentrasi korupsi
ada pada sisi belanja. Kasus yang paling banyak terungkap adalah proyek-proyek
pengadaan, seperti pembangunan infrastruktur, pembelian barang dan jasa, serta
program bantuan kemasyarakatan.
2.
Pelaku Korupsi.
Didominasi oleh
pegawai Satuan Kerja Perangkat Daerah/Dinas (SKPD), anggota DPRD, dan Kepala
Daerah. Sebagian besar kasus bahkan melibatkan ketiganya sekaligus. Mereka
membentuk semacam jamaah korupsi di daerah. Pihak yang mengawasi dan diawasi
justru bersatu padu membobol anggaran daerah. Apalagi dari sisi eksternal,
kondisi di sebagian besar daerah, pengawasan dari masyarakat masih sangat
minim.
3.
Proses Korupsi.
Selalu diawali oleh korupsi politik,
korupsi yang dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuasaan secara politik di
daerah, seperti kepala daerah dan anggota DPRD. Biasanya dilakukan pada saat
perencanaan anggaran dengan cara menitip atau memaksa berbagai usulan program
atau proyek masuk dalam RAPBD. Mulai dari proyek pengadaan barang dan jasa
hingga jatah program bantuan sosial dan hibah.
Korupsi politik
akan dilanjutkan oleh korupsi birokrasi. Hasil kompromi antara kepaladaerah dan
DPRD akan dieksekusi birokrasi masing-masing SKPD atau badan perencanaan
pembangunan daerah (Bappeda). Para abdi negara ini yang bertugas secara teknis
untuk memasukkan daftar kegiatan dan proyek titipan ketika APBD dirancang.
Dalam
implementasi anggaran, birokrasi di SKPD berperan mengawal dan memuluskan
kegiatan dan proyek yang telah dipesan oleh atasan. Caranya dengan memanipulasi
proses tender, merekayasa spesifikasi barang, dan bikin kegiatan fiktif.
Birokrasi
merupakan eksekutor korupsi karena mereka yang bertugas secara langsung
mengimplementasikan anggaran. Bagi sebagian besar birokrasi, perintah atasan
sekalipun bermasalah, adalah kewajiban yang tidak boleh diabaikan. Walau begitu
tak tertutup kemungkinan birokrasi di SKPD berinisiatif sendiri mengkorupsi
APBD.
Dilihat dari pola dan modus korupsi di daearah tersebut,
tampak bahwa korupsi di daerah dapat dilakukan oleh hampir semua pihak. DPRD
yang menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 memiliki fungsi legislasi,
anggaran, dan pengawasan juga dapat menjadi aktor korupsi. Hal ini sejalan
dengan apa yang dikemukakan Sumodihardjo, 2006 bahwa praktek korupsi yang
sebelumnya hanya terjadi di ranah birokrasi dan perbankan, kini merambah masuk
ke lingkungan legislatif.
Sudah banyak
pendekatan untuk menekan korupsi di daerah. Dari sisi regulasi, pemerintah
mengeluarkan instruksi presiden mengenai aksi pencegahan dan pemberantasan
korupsi, mempromosikan berbagai inovasi mulai dari e-budgeting, e-procurement hingga mendorong penyederhanaan
kelembagaan dan birokrasi pelayanan publik, seperti program pelayanan satu
atap. Berbagai pendekatan tersebut ternyata tak terlalu efektif, juga tak bisa
dikatakan gagal dalam mengurangi korupsi di daerah. Sebagian besar hanya
menyentuh aspek teknis. Padahal, hulu masalah korupsi di daerah berkaitan aspek
politis, terutama komitmen dan keseriusan kepala daerah dan anggota DPRD untuk
tidak melakukan korupsi.
Prasyarat utama
untuk menghilangkan atau setidaknya mengurangi korupsi di daerah adalah :
a. Adanya
pemimpin yang tidak hanya bersih, tetapi juga memiliki keberanian dan komitmen
kuat untuk melawan korupsi.
b. Dibutuhkan
kepala daerah "juara". Salah satunya yang sering dijadikan rujukan
saat ini adalah Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Basuki tidak hanya
keras terhadap anak buah yang menyimpangkan kewenangan, tetapi juga berani
menolak permintaan "jatah anggaran" dari DPRD.
c.
Para pemimpin yang memiliki komitmen anti korupsi
tidak akan menjadikan birokrasinya sebagai operator korupsi. Sebaliknya mereka
akan menjaga dan mengawasi anak buahnya. Selain itu, tanpa dipaksa pun mereka
akan menggunakan berbagai perangkat, seperti e-budgeting, e-procurement,
dan pelayanan satu atap untuk mengurangi korupsi di daerahnya.
E.
OTONOMI
DAERAH DAN PILKADA LANGSUNG
Salah satu
momentum penting untuk mendorong munculnya kepala daerah "juara"
adalah pemilihan kepala daerah langsung yang akan diselenggarakan secara
serentak pada akhir tahun nanti. Sejatinya pilkada adalah alat warga untuk
menghukum kepala daerah korup dan mempromosikan kandidat yang lebih berintegritas.
Pilkada merupakan momentum penting untuk melawan korupsi di daerah.
Terpilihnya
kepala daerah "juara" menjadi modal penting untuk mewujudkan
kesejahteraan masyarakat daerah, seperti yang ingin diwujudkan dalam kebijakan
otonomi daerah dan pilkada langsung. Pilkada merupakan kunci keberhasilan
penerapan otonomi daerah. Setidaknya ada tiga pihak yang bisa berperan besar
dalam menjaga pilkada agar melahirkan kepala daerah yang bersih, berkualitas,
berani, dan pro pemberantasan korupsi, yaitu partai politik, pemilih, dan
penyelenggara pemilihan. Mereka yang akan menentukan korupsi di daerah makin
marak atau mulai berkurang.
Partai politik
dapat berperan memilih kandidat terbaik. Calon kepala daerah yang mereka usung
berasal dari hasil seleksi ketat sehingga tidak menyulitkan pemilih untuk
menentukan pilihan. Kekhawatiran munculnya dinasti yang menjadi salah satu
penyebab maraknya korupsi bisa dicegah oleh partai dengan melakukan seleksi
yang benar.
Peran
pemilih, memilih kandidat terbaik yang
diusung partai atau melalui jalur perseorangan. Pertimbangan rasional yang
dijadikan dasar membuat pilihan, seperti rekam jejak, visi dan misi, serta
program yang usung kandidat. Mereka tidak menukar suara dengan uang atau
barang. Sementara penyelenggara berperan dengan menjaga agar proses pemilihan
berlangsung jujur dan adil. Mereka tidak memberi ruang bagi kandidat untuk
melakukan kecurangan dan korupsi. Apalagi terlibat dalam kecurangan, seperti
memanipulasi hasil perhitungan suara.
Memang bukan hal
mudah membuat petinggi partai, pemilih, dan penyelenggara pada tingkat lokal
untuk bersikap dan bertindak ideal. Karena itu, harus ada pihak yang memulai
untuk melakukan perubahan. Perubahan itu bisa dari para ketua umum partai yang
benar-benar mengawal proses penyaringan kandidat kepala daerah. Pemerintah memperbaiki dalam hal aturan main pilkada,
dan masyarakat sipil dengan melakukan pemantauan pelaksanaan pemilihan.
Beberapa kelebihan dalam penyelenggaraan pilkada
langsung antara lain sebagai berikut :
1.
Pilkada langsung merupakan jawaban atas tuntutan
aspirasi rakyat karena pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, bahkan
kepala desa selama ini telah dilakukan secara langsung.
2.
Pilkada langsung merupakan perwujudan konstitusi
dan UUD 1945. Seperti telah diamanatkan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, Gubernur,
Bupati dan Wali Kota, masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah
provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Hal ini telah diatur
dalam UU No 32 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan
Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
3.
Pilkada langsung sebagai sarana pembelajaran
demokrasi (politik) bagi rakyat .Ia menjadi media pembelajaran praktik
berdemokrasi bagi rakyat yang diharapkan dapat membentuk kesadaran kolektif
segenap unsur bangsa tentang pentingnya memilih pemimpin yang benar sesuai
nuraninya.
4.
Pilkada langsung sebagai sarana untuk memperkuat
otonomi daerah. Keberhasilan otonomi daerah salah satunya juga ditentukan oleh
pemimpin lokal. Semakin baik pemimpin lokal yang dihasilkan dalam pilkada
langsung 2015, maka komitmen pemimpin lokal dalam mewujudkan tujuan otonomi
daerah, antara lain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan selalu
memperhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat agar dapat diwujudkan.
5.
Pilkada langsung merupakan sarana penting bagi
proses kaderisasi kepemimpinan nasional. Disadari atau tidak, stock
kepemimpinan nasional amat terbatas. Dari jumlah penduduk Indonesia yang lebih
dari 200 juta, jumlah pemimpin nasional yang kita miliki hanya beberapa. Mereka
sebagian besar para pemimpin partai politik besar yang memenangi Pemilu 2004.
Karena itu, harapan akan lahirnya pemimpin nasional justru dari pilkada
langsung ini.
Sedangkan kelemahan pilkada langsung diantaranyasangatbesarnya dana yang
dibutuhkan, membuka kemungkinan konflik elite dan massa, aktivitas rakyat
terganggu. Dalam pelaksanaan pilkada di lapangan banyak sekali ditemukan
penyelewengan penyelewengan. Kecurangan ini dilakukan oleh para bakal
calon seperti :
1.
Money politik
Sepertinya
money politik ini selalu saja menyertai dalam setiap pelaksanaan pilkada.
Dengan memanfaatkan masalah ekonomi masyarakat yang cenderung masih rendah,
maka dengan mudah mereka dapat diperalat dengan mudah. Contoh yang nyata saja
yaitu di lingkungan desa Karangwetan, Tegaltirto, Berbah, Sleman, juga terjadi
hal tersebut. Yaitu salah satu dari kader bakal calon membagi bagikan uang
kapada masyarakat dengan syarat harus memilih bakal calon tertentu. Tapi memang
dengan uang dapat membeli segalanya. Dengan masih rendahnya tingkat pendidikan
seseorang maka dengan mudah orang itu dapat diperalat dan diatur dengan mudah
hanya karena uang.Jadi sangat rasional sekali jika untuk menjadi calon kepala
daerah harus mempunyai uang yang banyak. Karena untuk biaya ini, biaya
itu.
2.
Intimidasi
Intimidasi
ini juga sangat bahaya. Sebagai contoh yaitu pegawai pemerintah melakukan
intimidasi terhadap warga agar mencoblos salah satu calon. Hal ini sangat
menyeleweng dari aturan pelaksanaan pemilu.
3.
Pendahuluan start kampanye
Tindakan ini
paling sering terjadi. Padahal sudah sangat jelas aturan-aturan yang berlaku
dalam pemilu tersebut. Berbagai cara dilakukan seperti pemasangan baliho,
spanduk, selebaran. Sering juga untuk bakal calon yang merupakan kepala daerah
saat itu melakukan kunjungan keberbagai daerah. Kunjungan ini intensitasnya
sangat tinggi ketika mendekati pemilu. Ini sangat berlawanan yaitu ketika
sedang memimpin dulu. Selain itu media TV lokal sering digunakan sebagi media
kampanye. Bakal calon menyampaikan visi misinya dalam acara tersebut padahal
jadwal pelaksanaan kampanye belum dimulai.
4.
Kampanye negatif
Kampanye negatif ini dapat timbul karena kurangnya
sosialisasi bakal calon kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan sebagian
masyarakat masih kurang terhadap pentingnya informasi. Jadi mereka hanya
“manut” dengan orang yang di sekitar mereka yang menjadi panutannya. Kampanye
negatif ini dapat mengarah pada munculnya fitnah yang dapat merusak integritas
daerah tersebut.
F.
PERAN
MASYARAKAT DALAM MEMBERANTAS KORUPSI
Otonomi daerah di
negara kita telah banyak menciptakan kekuasaan. Kekuasaan untuk mempersubur
korupsi di tanah air. Tak dapat disangkal bahwasanya sebuah kasus korupsi
timbul karena adanya kesempatan dari sebuah kekuasaan. Sehingga semakin banyak
kekuasaan yg diciptakan oleh otonomi daerah, maka semakin besar adanya korupsi. Selain itu, otonomi daerah yang
bertujuan untuk mempermudah segala akses hubungan antara pemerintah dengan
rakyat, justru menyebabkan kegiatan prosedural yang sulit dan memakan waktu yang
lama dikarenakan banyaknya kekuasaan-kekuasaan kecil yang harus dilewati dalam
prosedur tersebut, sehingga muncullah beberapa kesempatan untuk melakukan
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Oleh karenanya,
pemerintah haruslah benar-benar tegas dalam menentukan sebuah kebijakan
terhadap pencegahan timbulnya perbuatan korupsi yang disebabkan oleh kebijakan
otonomi daerah itu sendiri. Karena sebuah badan pengawas ataupun para penegak
hukum saja tidaklah cukup untuk memberantas korupsi dinegara kita. Diperlukan
juga sebuah sikap pemerintah yang sangat bijaksana untuk membatasi tiap-tiap
kekuasaan.
Dalam situasi yang demikian maka peran serta masyarakat
menjadi semakin penting. Peran serta yang dimaksudkan adalah partisipasi publik
atau keterlibatan masyarakat dalam mengontrol negara. Di samping untuk
melakukan chek and balances terhadap jalannya penyelenggaraan
pemerintahan, juga dimaksudkan sebagai upaya mempertahankan kelangsungan
pemerintah dari ancaman delegitimasi publik.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1999 tentang
Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Negara
dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan peran serta masyarakat adalah peran aktif
masyarakat untuk ikut serta mewujudkan Penyelenggara Negara yang bersih dan
bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang dilaksanakan dengan mentaati
norma hukum, moral, dan sosial yang berlaku dalam masyarakat.
Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara untuk
mewujudkan Penyelenggara Negara yang bersih dilaksanakan dalam bentuk:
a.
Hak
mencari, memperoleh, dan memberikan informasi mengenai penyelenggaraan negara
b.
Hak
untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari Penyelenggara Negara;
c.
Hak
menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab terhadap kebijakan
Penyelenggara Negara; dan
d.
Hak
memperoleh perlindungan hukum dalam hal:
1)
Melaksanakan
haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c;
2)
Diminta
hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di sidang pengadilan sebagai
saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Peran serta masyarakat harus dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dengan menaati norma
agama dan norma sosial lainnya. Masyarakat yang dapat berperan aktif
melaksanakan fungsi kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintah adalah
masyarakat yang memiliki kesadaran hukum tinggi. Artinya, masyarakat mengetahui
dan mengerti aturan main dan perangkat-perangkat hukum yang diperlukan serta
dapat meyakinkan kelompok masyarakat yang lain, maupun aparat penegak hukum
terhadap upaya-upaya pemberantasan korupsi.
إرسال تعليق