Salah satu isu penting dalam penyelenggaraan
pendidikan kita sekarang adalah peningkatan mutu pendidikan. Sinyalemen yang
muncul berkaitan dengan itu antara lain telah terjadi kemerosotan kualitas
pendidikan disegala tingkatannya. Hal itu diperkuat pula dengan
sinyalemen lain bahwa kualitas pendidikan kita berada pada peringkat bawah
dibanding kualitas pendidikan di negara-negara berkembang lainnya. Ironisnya, diantara
negara yang berada diatas negara kita dalam kualitas pendidikan adalah
negara-negara tetangga yang dahulunya pernah belajar pada kita dalam hal pendidikan.
Bahkan dengan yang terakhir ini bukan hanya terbatas pada sinyalemen, tetapi
telah menjadi tindakan konkrit. Semakin tahun semakin banyak orang-orang Indonesia yang lebih
memilih menyekolahkan anaknya ke luar negeri (tetangga) dengan alasan kualitas.
Asal muasal perbincangan “mutu” justru
dari dunia industri. Dunia pendidikan tertarik dengan masalah mutu setelah
melihat keberhasilan dunia industri. Yang dimaksud disini ialah
keberhasilan industri Jepang pada tahun 80-an dalam mencapai kemajuan, termasuk
menguasai pasar dunia. Keberhasilan ini karena industri Jepang menerapkan
Total Quality Management (TQM).
Filosofi mutu dan TQM ini sendiri sebetulnya berasal dari Amerika dan
mulai tumbuh pada tahun 80-an.
Menghubungkan dunia pendidikan dengan dunia industri
sebetulnya bukan hal mudah. Kebanyakan orang masih percaya bahwa pendidikan adalah
aktivitas sosial yang seharusnya jauh dari perbincangan rugi-laba yang sudah lazim
dalam dunia industri atau bisnis. Sehingga terkesan bahwa menghubungkan keduanya
berarti menciderai misi mulia dari pendidikan. Sekalipun demikian, mulai banyak
rintisan berani untuk menggugat paradigma lama pendidikan dan melihat bahwa pendidikan
adalah aktivitas yang memproduksi jasa. Karenanya, sebagai aktivitas produksi, pendidikan
harus
dikelola dengan memperhatikan untung rugi, yang dalam pengertian ini
ialah efektif & efisiennya yang dikalkulasikan dengan mutu keluarannya.
No
|
Proses
|
Akibat Utama
|
1
|
Globalisasi
|
Keterbukaan
Demokratisasi
Persaingan dalam konteks kerja sama
|
2
|
Industrialisasi
|
Rasionalitas
Dominasi kecerdasan intelektual
Sekularisme (pemisahan agama dengan kehidupan sehari-hari)
|
3
|
Asianisasi
|
Percaya diri Asia
Pengaruh Budaya Asia ke Barat dan bagian lain dunia
|
4
|
Sistem Informasi
canggih
|
Perkembangan kecerdasan inteletual dan
emosional
Simplifikasi, efisiensi, dan efektivitas dalam komunikasi
Bahasa menjadi kebutuhan pokok
Kemandirian memperoleh pengetahuan
Perubahan sifat lembaga-lembaga pendidikan,
khususnya Perguruan Tinggi
|
Zaman ini telah memasuki Milenium yang ke
III. Kehidupan di milenium III ini berbeda dari milenium sebelumnya, bukan
hanya soal waktu, melainkan karena adanya perubahan perubahan dihampir seluruh bidang kehidupan,
khususnya kehidupan dibidang sosial dan ekonomi. Menurut Tampubolon, kehidupan
di bidang sosial ekonomi ini diwarnai oleh empat proses perkembangan, yaitu: Globalisasi,
Industrialisasi, Asianisasi, dan Sistem Informasi Canggih. Kesemuanya dapat
mengubah seluruh tata kehidupan. Selanjutnya Tampubolon (2001, 11) menggambarkan
akibat-akibat dari empat proses tersebut sbb :
Apabila dikaji secara lebih mendalam, maka
akibat-akibat utama yang tercantum pada tabel diatas, semuanya berkaitan
erat dengan “mutu”. Mutu diperlukan sebagai antisipasi, respon, atau menjawab
akibat-akibat lebih lanjut dari akibat-akibat utama diatas, maupun sebagai
prasyarat untuk mengimplementasikannya. Dalam konteks lembaga pendidikan, maka
berarti bahwa lembaga pendidikan memerlukan kualitas kualitas tertentu
dan bahkan terstandar, agar bisa
memasuki, beradaptasi, dan berperan aktif dalam proses-proses diatas.
3.
Pengertian Mutu Pendidikan
Ketika membicarakan mutu pendidikan,
khususnya dalam lingkup
sekolah atau lembaga pendidikan, maka perhatian segera diarahkan pada segi yang
ditunjukkan terhadap prestasi siswa atau mahasiswanya. Akan tetapi, biasanya yang
dimaksudkan dengan prestasi itu tidak lain adalah capaian akademik dalam arti penguasaan
terhadap materi pelajaran, atau materi perkuliahan. Penyederhanaan terhadap prestasi
siswa hanya dengan penguasaan materi inilah yang sesungguhnya membahayakan. Sekalipun
demikian, secara empirik justru inilah yang memang dijadikan ukuran. Kecenderungan
formal yang mengukur kualitas sekolah dengan perolehan NEM siswanya, atau bahkan
pengukuran prestasi siswa yang hanya mengandalkan pada hasil UAN yang notabene lebih
merupakan pengukuran kognitif, serta penerimaan siswa atau mahasiswa dari satu jenjang
pendidikan ke jenjang pendidikan lebih tinggi dengan mengacu pada NEM hasil
UAN, semuanya merupakan indikasi bahwa prestasi selama ini hanya diukur dari
kemampuan kognitif. Padahal, idealnya prestasi peserta didik yang merupakan
cerminan mutu lembaga pendidikan, mestinya juga diukur tidak hanya dari segi kognitifnya,
melainkan juga mencakup segi afektif dan psikomotornya. Selain prestasi akademik
dan keterampilan, prestasi non-akademik misalnya kematangan
emosional spiritual atau imtaq, kejujuran selayaknya juga dijadikan acuan untuk
melabeli keberhasilan peserta didik, yang selanjutnya menggambarkan keberhasilan (kinerja) lembaga pendidikan. Disisi lain, pandangan mutu yang terbatas tersebut lebih diakibatkan oleh cara memandang mutu pendidikan dari sisi penyelenggara, bukan dilihat dari kepentingan orang
luar, stakeholder. Lebih lanjut, pandangan yang menyederhanakan pengertian mutu dengan sangat terbatas
seperti diatas biasanya juga berasal atau sebagai akibat dari penyederhanaan pandangan lembaga pendidikan
sebagai sebuah system yang memandang
bahwa output, dalam hal ini prestasi
siswa akan dapat dipenuhi atau dicapai
dengan sendirinya jika input-nya
telah dipenuhi. Yang dimaksud input disini
ialah Man, Money, Materials, Methods,
Machine (Aan Komariah, Cepi Triatna: 2005, 2)
Menurut Jamaluddin (2005; 17) sebetulnya
menempatkan lembaga pendidikan sebagai pusat produksi yang apabila dipenuhi seluruh
inputnya (segala sesuatu yang harus tersedia),
maka output akan terjadi. Namun
dalam prakteknya, penekanan terhadap input
amat berlebihan sehingga melupakan prosesnya. Padahal proses pendidikan juga merupakan
faktor yang menentukan input. Proses dalam
pengertian umum adalah serangkaian aktivitas yang dilakukan berulang-ulang dan bersamaan
untuk mentransformasi sesuatu (input)
yang disediakan pemasok, menjadi sesuatu yang lain (output) yang diterima pelanggan (Fandy Ciptono, 2000: 28 ). Jadi,
yang sebenarnya terjadi adalah, input
akan mempengaruhi proses, dan proses menentukan output. Input tidak akan menentukan
output secara langsung tanpa melewati
proses.
Pembicaraan mutu pendidikan pada saat
sekarang bukan lagi memandangnya dari pandangan dan paradigma yang
terbatas, sekaligus menyesatkan, seperti diatas, melainkan memandangnya
dari perspektif yang lebih luas dan komprehensif. Mutu disini dimaksudkan
sebagai “gambaran dan karakter menyeluruh
dari barang atau jasa yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang
diharapkan atau yang tersirat”.
Jadi, mutu dalam kaitan pendidikan ini bukan hanya terkait dengan kepuasan
penyelenggara, melainkan juga kepuasan pemakai atau bahkan masyarakat lebih
luas.
Josep M Juan (Jarome, 2005; 8), yang telah
diakui sebagai “Bapak Mutu”, bahkan telah mengkonsepkan mutu sebagai
“tepat untuk dipakai” yang berati mengorientasikan penentuan mutu oleh pihak pemakai,
bukan pemberi. Selain itu, mutu bukan hanya menyangkut output melainkan juga mencakup input dengan segala komponennya dan
proses dengan seluruh aktivitasnya. Input
yang penting adalah peserta didik yang disebut raw input. Akan tetapi, input-input yang lain seperti digambarkan
diatas juga penting diperhatikan karena akan mempengaruhi proses. Sedangkan
proses yang dimaksud adalah proses belajar mengajar. Namun demikian, juga
termasuk proses-proses lain yang terkait dengan proses pembelajaran, yaitu
proses pengambilan keputusan, proses pengelolaan kelembagaan, proses
pengelolaan program, proses monitoring dan proses evaluasi. Oleh
karena itu, jika dicermati lebih lanjut, maka mutu pendidikan akan
ditentukan oleh pengelolaannya dan kemudian kepemimpinan dalam lembaga pendidikan.
4.
Menciptakan
Lembaga Pendidikan Bermutu
Seperti diurai diatas, keinginan lembaga
pendidikan untuk memfokuskan diri pada mutu, terinspirasi
oleh keberhasilan dunia industri atau bisnis. Karena itu, usaha
menciptakan lembaga
pendikan yang bermutu tidak dapat dilepaskan dari pemikiran
pemikiran tentang mutu dan aplikasi-aplikasinya di bidang tersebut.
Pengadopsian semacam itu dimungkinkan dengan mendekatkan paradigma keduanya,
yaitu dengan memandang sama antara dunia industri atau bisnis dengan dunia
pendidikan, dalam hal jasa, yaitu ilmu pengetahuan dan ketrampilan, sikap,
perilaku, moralitas dan seterusnya.
Salah satu yang telah diterapkan dalam dunia industri yang dapat diaplikasikan dalam dunia pendidikan ialah penerapan TQM (Total Quality Mangement).
Konsepnya dikemukakan oleh W. Edward Deming, doktor
matematika dan fisika dari Yale University. Sebetulnya selain
Deming, terdapat beberapa nama
lain yang mengajukan konsep yang
berkaitan dengan mutu dan menerapkannya
dalam dunia bisnis dan industri,
dan menerapkannya, seperti Josep M.
Juran yang terkenal dengan
triloginya (Quality Planning, Quality
Control, dan Qualit Improvement), Philip B. Crosby yang terkenal dengan
lima vaksin mutunya (Integritas, Sistem, Komunikasi, Pelaksanaan dan
Kebijakan), Shigeo Shingo yang terkenal dengan kosep Total Quality
Control yang mempedulikan sistem dan proses
sekaligus, Kaoru shikawa
penemu Fishbone Diagram, dan Genichi Taguchi
yang terkenal dengan tiga konsep
utamanya (Fungsi Kerugian Kuadrat, Desain
Parameter, dan Percobaan terencana berdasarkan statistik) (Tampubolon: 2001, 38-67), namun konsep Deming
inilah yang banyak diadopsi
para profesional pendidikan.
Definisi umum dari TQM
ini adalah penerapan metode kuantitatif dan pengetahuan kemanusiaan
untuk :
1.
Memperbaiki material dan jasa yang menjadi masukan organisasi,
2.
Memperbaiki semua proses penting dalam organisasi
3.
Memperbaiki upaya memenuhi kebutuhan para produk dan jasa pada masa kini dan diwaktu yang akan datang (Soewarso: 2004,1).
Penerapan TQM
memerlukan terpenuhinya kapasitas manajemen organisasi
yang sesuai dengan tuntutan era
industri, era teknologi dan era informasi atau globalisasi,
dengan ciri-cirinya sebagai berikut :
-
Organisasi bergerak secara lebih efektif atas dasar missinya,
-
Organisasi bergerak atas dasar kebutuhan costumer
-
Antisipatif atau proaktif,
-
Lebih berorientasi pada pasar,
-
Lebih berorientasi pada output,
-
Mengejar daya saing,
-
Tekun bekerja (industrious),
-
Giat berusaha (enterprising),
-
Mau mengerahkan seluruh anggotanya dengan pemberdayaan (empowerment),
-
Mendorong anggota untuk maju (catalyst)
-
Melaksanakan perencanaan terpadu
dan pelaksanaan serta pengendalian terdesentralisasi
Jika melihat hal-hal diatas, faktor yang amat
diperlukan agar TQM dapat diterapkan adalah perubahan (transformasi) paradigma,
mental dan sikap kerja dari yang lama menuju paradigma, mental dan sikap kerja
baru. Bagi lembaga pendidikan, agar menjadi lembaga yang bermutu, maka
perubahan yang diciptakan hendaknya mengarah pada terpenuhinya tuntutan muatan
manajemen di atas. Jarome (2005, 11-14) mengemukakan dengan formula lain
bahwa agar lembaga pendidikan menjadi bermutu diperlukaan beberapa
komitmen, yaitu :
- - Terfokus pada konsumen
- - Keterlibatan total
- - Menerapkan tradisi pengukuran
- - Memandang pendidikan sebagai sistem
- - Perubahan berkelanjutan.
Namun, ada dua kendala
dalam penerapan TQM ini, yaitu : Pertama,
banyak profesional pendidikan yakin bahwa mutu pendidikan tergantung pada
besarnya dana yang dialokasikan untuk pendidikan. Kedua, banyak profesional pendidikan yang tetap memandang pendidikan
sebagai jaringan anak manis yang kebal terhadap tarikan profesional
nonpendidikan, dalam hal ini profesional industri dan bisnis.
5.
Standarisasi Mutu Pendidikan
Standarisasi mutu pendidikan di Indonesia
memang tengah menjadi perbincangan. Jika ditelusuri terdapat beberapa
masalah yang melatarbelakangi keperluan untuk itu. Pertama adalah adanya
pengelola pendidikan yang tidak satu, selain ada yang negeri dengan dukungan
(sebagian besarnya) biaya pemerintah, ada lembaga pendidikan yang dikelola
swasta dengan mengandalkan (sebagian besarnya) biaya publik, di lembaga
pendidikan pemerintah sendiri tidak hanya satu departemen yang mengelolanya.
Kedua, adanya perubahan managemen pengelolaan pendidikan, dari yang dahulunya
sentralisasi menjadi desentralisasi, seiring dengan otonomi daerah. Keadaan
seperti itu akan sangat mungkin dapat menimbullkan ketidakjelasan kualitas,
mengingat kemampuan yang berbeda antara negara dan swasta, dan antara daerah
satu dengan daerah lainnya. Dilihat dari itu, maka standarisasi mutu bisa jadi
hanya dalam rangka keseragaman mutu untuk menjamin kesamaan kesempatan
pendidikan secara kualitas, atau bisa juga sebagai bentuk tantangan dalam
rangka persaingan (sehat) mutu pendidikan antar penyelenggara. Diharapkan cara
pandang yang kedua dijadikan pedoman.
Namun demikian,
standarisasi mutu pendidikan sendiri bukan tanpa
masalah. Masalah yang dihadapi antara lain pada standard-standard itu sendiri.
Terlebih jika yang dimaksudkan dengan mutu itu mencakup keseluruhan input, proses dan output. Sekalipun demikian,
standarisasi mutu memang
seharusnya diusahakan agar terhindar dari praktek-praktek yang merugikan.
6.
Prospek Lembaga Pendidikan Islam
Seperti telah diungkap diatas, perubahan paradigma, mental dan sikap kerja
bukanlah sesuatu yang mudah. Perubahan demikian tidak cukup hanya dengan kemauan,
melainkan memerlukan kekuatan dan tindakan nyata. Pengalaman dalam dunia industri
dan bisnis menunjukkan banyak usaha transformasi yang tidak berhasil. Soewarso (2004,18-22)
menyebutkan 7 faktor penyebab kegagalan dunia industri dalam menerapkan TQM, yaitu :
1.
Tidak cukup adanya penghayatan akan urgensi perubahan
2.
Tidak adanya kelompok inti yang kuat
3.
Tidak terdapat visi pimpinan yang jelas
4.
Tidak cukup tersedia sumber daya dan insentif
5.
Tidak terdapat rencana tidak yang sistematis untuk
mencapai kemanfaatan jangka pendek
6.
Terlalu puas dengan hasil yang dicapai
7.
Transformasi tidak ditopang oleh budaya organisasi
Jika hal-hal diatas direfleksikan terhadap realita
pendidikan Islam, maka akan
butuh waktu yang cukup lama dan diperlukan usaha keras untuk
menciptakan lembaga pendidikan Islam
yang bermutu, sekalipun mutu yang dimaksud sebatas standar mutu yang diciptakan
untuk kepentingan terbatas.
Mental untuk berubah memang merupakan
ajaran Islam. Hanya seringkali kita terlena dalam zona nyaman, sehingga
perubahan merupakan malapetaka, padahal seharusnya merupakan kewajiban. Desah
standarisasi mutu pendidikan jelas menggelisahkan orang yang lelap dalam zona
nyaman. Namun demikian, jika ada kemauan keras, tidak ada yang tidak
bisa dicapai. Pepatah mengatakan, man jadda
wajada. Seberapa besar jidd
yang diusahakan sebesar itu harapan yang dapat diwujudkan. mungkin perlu juga
difatwakaan bahwa pengelola lembaga pendidikan (Islam) akan menuai dosa jika
tidak dapat mempersembahkan mutu bagi masyarakatnya.
Posting Komentar