BAB 3
DASAR HUKUM DAN LEMBAGA
PEMBERANTASAN KORUPSI


Sejarah pemberantasan korupsi yang cukup panjang di Indonesia menunjukkan bahwa pemberantasan tindak pidana korupsi memang membutuhkan penanganan yang ekstra keras dan membutuhkan kemauan politik yang sangat besar dan serius dari pemerintah yang berkuasa.  Pemberantasan  korupsi itu sendiri tercermin dari peraturan perundang-undangan yang dilahirkan pada periode pemerintahan tertentu. Lahirnya undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi sesungguhnya tidaklah cukup untuk menunjukkan keseriusan atau komitmen pemerintah. Perlu lebih dari sekedar melahirkan suatu peraturan perundang-undangan, yaitu menerapkan ketentuan yang diatur di dalam undang-undang dengan cara mendorong aparat penegak hukum yang berwenang untuk memberantas korupsi dengan cara-cara yang tegas, berani, dan tidak pandang bulu.

Keberadaan undang-undang pemberantasan korupsi hanyalah satu dari sekian banyak upaya memberantas korupsi dengan sungguh-sungguh. Disamping peraturan perundang-undangan yang kuat, juga diperlukan kesadaran masyarakat dalam memberantas korupsi. Kesadaran masyarakat hanya dapat timbul apabila masyarakat mempunyai pengetahuan dan pemahaman akan hakikat tindak pidana korupsi yang diatur dalam undang-undang. Untuk itu sosialisasi undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi, khususnya mengenai delik korupsi yang diatur di dalamnya, perlu terus dilakukan secara simultan dan konsisten. Pengetahuan masyarakat akan delik korupsi mutlak diperlukan mengingat ketidaktahuan akan adanya peraturan perundang-undangan tidak dapat dijadikan alasan untuk menghindar dari tanggung jawab hukum.

Di era reformasi, usaha usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh BJ. Habibie dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman. Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid, membentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000. Namun ditengah semangat menggebu-gebu untuk memberantas korupsi dari anggota tim ini, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung, TGPTPK akhirnya dibubarkan dengan logika membenturkannya ke Undang-Undang No. 31 Tahun 1999. Nasib serupa tetapi tak sama dialami oleh KPKPN, dengan dibentuknya komisi pemberantasan korupsi, tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap. Artinya, KPK-lah lembaga pemberantasan korupsi terbaru yang masih eksis.

DASAR HUKUM PEMBERANTASAN KORUPSI

Pemberantasan tindak pidana korupsi berdasarkan ketentuan-ketentuan berikut :
1.      Undang-Undang RI No. 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Korupsi
2.      Ketetapan MPR No. X/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN
3.      Undang-undang RI No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN)
4.      Undang-undang RI No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
5.      Peraturan Pemerintahan RI No. 71 tahun 2000 tentang tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi
6.      Undang-undang Ri No, 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang RI No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
7.      Undang-undang RI No. 15 tahun 2002 Tindak Pidana Pencucian Uang
8.      Undang-Undang RI No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK)
9.      Undang-undang RI No. 7 tahun 2006 tentang Pengesahan United Convention Against Corruption , 2003 (Konvensi Perserikatan PBB Anti Korupsi , 2003)
10.  Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi
11.  Undang-undang RI No. 46 tahun 2004 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
12.  Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia KPK
Upaya pemerintah dalam pemberantasan korupsi dilaksanakan melalui berbagai kebijakan berupa peraturan perundang-undangan dari yang tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar 1945 sampai dengan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi seperti tersebut diatas. Selain itu pemerintah juga membentuk komisi-komisi yang berhubungan langsung dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi seperti Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Upaya pencegahan praktek korupsi juga dilakukan di lingkungan aksekutif atau penyelenggara Negara, dimana masing-masing instansi memiliki internal Control Unit (Unit Pengawas dan pengendali dalam instansi) yang berupa Inspektorat. Fungsi inspektorat mengawasi dan memeriksa penyelenggaraan kegiatan pembangunan di instansi masing-masing, terutama pengelolaan keuangan negara agar kegiatan pembangunan berjalan secara efektif,  efisien dan ekonomis sesuai sasaran. Disamping pengawasan internal, ada juga pengawasan dan pemeriksaan kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh instansi eskternal yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP).

LEMBAGA PEMBERANTAS KORUPSI

KPK dibentuk karena adanya Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana dalam pasal 43. KPK merupakan lembaga negara yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, serta lembaga yang mempunyai tujuan pencegahan atas tindak pidana korupsi.
-        Pasal 43
(1)   Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(2)   Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai  tugas dan wewenang melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3)   Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas  unsur Pemerintah dan unsur masyarakat.
(4)   Ketentuan mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja, pertanggung jawaban, tugas dan wewenang, serta keanggotaan komisi sebagaimana dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Undang-Undang.
Pada tanggal 27 Desember 2002, disahkan dan diundangkan ketentuan Undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Sebagaimana bagian konsideran Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK tersebut menerangkan bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu, pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK diberi amanat melakukan pemberantasan korupsi secara profesional, intensif, dan berkesinambungan. KPK merupakan lembaga negara yang bersifat independen, yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun. KPK dibentuk bukan untuk mengambil alih tugas pemberantasan korupsi dari lembaga-lembaga yang ada sebelumnya. Penjelasan undang-undang menyebutkan peran KPK sebagai trigger mechanism, yang berarti mendorong atau sebagai stimulus agar upaya pemberantasan korupsi oleh lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya menjadi lebih efektif dan efisien. Adapun tugas KPK yang adalah koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi (TPK), supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan TPK, melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap TPK, melakukan tindakan-tindakan pencegahan TPK, dan melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Dalam pelaksanaannya tugasnya, KPK berpedoman kepada lima asas, yaitu: kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proposionalitas. KPK bertanggung jawab kepada publik dan menyampaikan laporannya secara terbuka dan berkala kepada presiden, DPR, dan BPK. KPK dipimpin oleh Pimpinan KPK yang terdiri atas lima orang, seorang ketua merangkap anggota dan empat orang wakil ketua merangkap anggota. Kelima pimpinan KPK tersebut merupakan pejabat negara, yang berasal dari unsur pemerintahan dan unsur masyarakat.
Pimpinan KPK memegang jabatan selama empat tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan. Dalam pengambilan keputusan, pimpinan KPK bersifat kolektif kolegial.   Pimpinan KPK membawahkan empat bidang, yang terdiri atas bidang Pencegahan, Penindakan, Informasi dan Data, serta Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat. Masing-masing bidang tersebut dipimpin oleh seorang deputi. KPK juga dibantu Sekretariat Jenderal yang dipimpin seorang Sekretaris Jenderal  yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden Republik Indonesia, namun bertanggung jawab kepada pimpinan KPK. Ketentuan mengenai struktur organisasi KPK diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan masyarakat luas tetap dapat berpartisipasi dalam aktivitas dan langkah-langkah yang dilakukan KPK. Dalam pelaksanaan operasional, KPK mengangkat pegawai yang direkrut sesuai dengan kompetensi yang diperlukan.
Lembaga yang menangani perbuatan korupsi ada 2 :
1.      Formal (resmi), yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
a.       Tugas KPK :
-        Koordinasi dengan Instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi
-        Supervisi terhadap Instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi
-        Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi
-        Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi
-        Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintah Negara
b.      Wewenang KPK :
-        Mengordinasi penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi
-        Menetapkan system pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi
-        Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait
-        Melaksanakan dengan pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi
-        Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.

2.      Lembaga Non Formal (tidak resmi)
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)  juga ikut berperan dalam melakukan pengawasan kegiatan pembangunan, terutama kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara Negara. Beberapa LSM yang aktif dan gencar mengawasi dan melaporkan praktek korupsi yang dilakukan penyelenggara negara antara lain adalah :

-        ICW
Indonesian Corruption Watch atau disingkat ICW adalah sebuah organisasi non-pemerintah (NGO) yang mempunyai misi untuk mengawasi dan melaporkan kepada publik mengenai aksi korupsi yang terjadi di Indonesia. ICW adalah lembaga nirlaba yang terdiri dari sekumpulan orang yang memiliki komitmen untuk memberantas korupsi melalui usaha-usaha pemberdayaan rakyat untuk terlibat/berpartisipasi aktif melakukan perlawanan terhadap praktik korupsi.
-        GOWA (Government Watch)
-        MTI ( Masyarakat Transparansi Indonesia)

Upaya Penanggulangan Kejahatan (Korupsi) dengan Hukum Pidana
Kebijakan penanggulanagn kejahatan atau yang biasa dikenal dengan istilah politik kriminal (criminal politics) oleh G. Peter Hoefnagels dibedakan sebagai berikut (Arief, 2008):
a.       Kebijakan penerapan hukum pidana (criminal law application)
b.      Kebijakan pencegahan tanpa hukum pidana (prevention without punishment)
c.       Kebijakan untuk mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on crime and punishment/mass media) ataupun melalui media lainnya seperti penyuluhan dan pendidikan.
Melihat perbedaan tersebut, secara garis besar upaya penanggulangan kejahatan dapat dibagi menjadi dua yaitu jalur penal (menggunakan hukum pidana) dan jalur non-penal (diselesaikan di luar hukum pidana dan sarana-sarana non-penal). Secara kasar menurut Arief upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur penal lebih menitikberatkan pada sifat repressive (penumpasan/penindasan/pemberantasan) sesudah kejahatan terjadi. Sedangkan jalur non-penal lebih menitikberatkan pada sifat preventif (pencegahan). Dikatakan secara kasar, karena tindakan represif juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas.
Sifat preventif memang bukan menjadi fokus kerja aparat penegak hukum. Namun untuk pencegahan korupsi sifat ini dapat ditemui dalam salah satu tugas dari KPK yang memiliki Deputi Bidang Pencegahan yang di dalamnya terdapat Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat.
Sasaran utama upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur non-penal adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan (dalam hal ini korupsi). Faktor-faktor kondusif berpusat pada masalah atau kondisi politik, ekonomi, maupun sosial yang secara langsung atau tak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan (korupsi). Dengan demikian upaya non-penal seharusnya menjadi kunci atau memiliki posisi strategis dari keseluruhan upaya politik kriminal.
Upaya penal dilakukan dengan memanggil atau menggunakan hukum pidana atau dengan menghukum atau memberi pidana atau memberikan penderitaan bagi pelaku korupsi. Ada hal penting yang patut dipikirkan dalam menggunakan upaya penal. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa sarana penal memiliki “keterbatasan”  dan mengandung beberapa “kelemahan” (sisi negatif) sehingga fungsinya seharusnya hanya digunakan secara “subsidair”. Pertimbangan tersebut adalah (Arief, 1998). Dilihat secara dogmatis, sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling tajam dalam bidang hukum, sehingga harus digunakan sebagai ultimatum remedium (obat terakhir apabila cara lain atau bidang hukum lain sudah tidak dapat digunakan lagi). Dilihat secara fungsional (pragmatis), operasionalisasi, dan aplikasinya menuntut biaya yang tinggi.
Sanksi pidana mengandung sifat kontradiktif/pradoksal yang mengandung efek sampingan negatif. Hal ini dapat dilihat dari kondisi overload Lembaga Permasyarakatan. Penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan ‘kurieren am symptom’ (menyembuhkan gejala). Hanya merupakan obat simptomatik bukan pengobatan kausatif  karena sebab-sebab kejahatan demikian kompleks dan berada di luar jangkauan hukum pidana.
Hukum pidana lainnya yang tidak mungkin mengatasi kejahatan sebagai masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat kompleks. Sistem pemidanaan bersifat framentair dan individual/personal, tidak bersifat struktural atau fungsionalefektivitas pidana (hukuman) bergantung pada banyak faktor dan masing-masing sering diperdebatkan oleh para ahli.
Salah satu amanat dari UU No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor adalah pembentukan pengadilan tipikor di setiap ibukota provinsi. Terkait dengan usaha menjalankan amanat UU tersebut, KPK, Polri, serta Kejaksaan Agung berencana menyusun nota kesepahaman (Memorandum of Understanding). Intinya adalah kerja sama dalam pengelolaan penanganan perkara korupsi di pengadilan tipikor. Seperti apa yang disampaikan oleh wakil ketua KPK Busyro Muqoddas, “Akan dilakukan koordinasi antara Polri, MA, Kejaksaan, KPK dan Kemenkumham berkaitan dengan pembentukan pengadilan tipikor di daerah,” kata Ketua KPK Busyro Muqoddas usai pertemuan dengan Kapolri dan Jaksa Agung di Gedung KPK Jakarta, Dalam pertemuan tersebut, lanjut Busyro, terjadi kesepakatan antara aparat penegak hukum untuk meningkatkan kualitas dan percepatan kerjasama dalam menegakkan hukum. Maka itu, MoU lanjutan untuk menentukan mekanismenya secara rinci akan segera dilakukan. “Pengadilan Tipikor ini agenda bersama yang dalam prakteknya perlu ada sistem yang dikembangkan secara terperinci,” ujarnya. Sambutan hangat mengenai MoU ini juga datang dari Jaksa Agung Basrief Arief. Menurutnya, salah satu poin yang penting mengenai pengawasan, pengawalan terdakwa ke pengadilan atau ke rumah tahanan negara, penghadapan saksi dan pembawaan barang bukti. Semua ini harus dilakukan secara baik sehingga tak terjadi hal-hal tidak yang diinginkan. “Yang menjadi pembicaraan kita bagaimana peradilan ini bisa berjalan lancar sehingga tak ada hal yang mengganggu,” katanya. Sesuai amanat UU Pengadilan TIpikor, kata Basrief, harus dibentuk sebanyak 33 pengadilan tipikor yang tersebar di seluruh Indonesia. Rencana ini bukan hal gampang. Maka itu, pembicaraan dengan MA menjadi keharusan karena menyangkut dengan anggaran dalam pembentukan pengadilan tipikor. “Ini pertemuan harus diperluas dengan Ketua MA dan Menkumham.”





1 Komentar

  1. SAHABATQQASIA .COM AGEN DOMINO QQ AGEN DOMINO 99 DAN POKER ONLINE AMAN DAN TERPERCAYA
    * Minimal DEPOSIT Rp 20.000,-
    * Tersedia 7 game dalam 1 USER ID
    *Bonus TO 0,3% Setiap 5 hari
    *Bonus Refferal 15%
    - Contact Us -
    Website : SahabatQQ
    Pin BB : 2BCD6D81
    WA : +855-81734021
    LINE : SAHABATQQ
    YM : cs2_sahabatqq

    BalasHapus

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama