BAB 4
KORUPSI DALAM PANDANGAN ISLAM


Hal mendasar paling merugikan dalam tindak pidana korupsi adalah merampas hak-hak orang lain. Bahkan bisa jadi seluruh rakyat merasakan dampak buruk korupsi, sistem pemerintahan pun menjadi sangat terganggu. Dan unsur kerusakan yang ditimbulkannya bisa sangat meluas. Lebih jauh lagi, dalam ajaran islam korupsi merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip keadilan, akuntabilitas, dan tanggung jawab. Korupsi dengan segala dampak negatifnya yang menimbulkan berbagai distorsi, kerusakan terhadap negara dan masyarakat, dapat dikategorikan termasuk berbuat kerusakan di muka bumi dan sangat dibenci Allah.

Menurut Transparency International Indonesia (TII) tahun 2010 menyebutkan Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim, di tingkat Asia Tenggara, Indonesia menduduki posisi ke empat dari 10 negara yang disurvai berdasarkan indeks persepsi korupsi. Oleh karena itu, tinggi atau rendahnya korupsi tidak banyak terkait dengan agama, tetapi lebih terkait dengan tatanan hukum yang jelas dan penegakan hukum yang keras terhadap para koruptor. Harus diakui, agama lebih merupakan imbauan moral, meskipun agama juga memberikan sanksi hukuman bagi pelaku yang melakukan tindak kriminalitas seperti korupsi, hukuman ini umumnya hanya berlaku di akherat kelak.

Ironis jika ada orang berpendapat bahwa korupsi hanya merupakan dosa kecil dan biasa saja terjadi, atau bahkan wajar bila dilakukan kalangan pejabat atau mantan pejabat. Lebih naif lagi, pendapat semacam ini didukung kalangan agamawan dengan mengemukakan konsep kafarah adz-dzunub, penebusan dosa atau sin loundering. Hasilnya setelah sebagian koruptor diproses  secara hukum atau terbebas dari bidikan hukum, mereka merasa aman dan tenang setelah “membayar”nya dengan banyak ibadah, seperti umroh, membantu kaum dhuafa, fakir, miskin, anak yatim, membangun masjid, sholat dhuha dan bersedekah.

Tentu saja cara berpikir dan pemahaman semacam ini tidak tepat. Menganggap korupsi sebagai dosa kecil yang bisa ditebus dengan sekedar beramal shaleh, shalat, umroh, atau bahkan hanya dengan wudhu tidak bisa dibenarkan. Selama ini, korupsi dipandang sebagai dosa kecil yang masih bisa diampuni, apalagi jika hasil korupsinya disisihkan untuk ibadah atau sedekah bagi fakir miskin dan anak yatim. Kelak diakhirat, timbangan pahala sedekah dari hasil korupsi bisa lebih berat dari sanksi dosanya. Jika demikian, para koruptor dan penjahat politik bisa mendapat ampunan dan masuk surga.
Menganggap korupsi sebagai dosa kecil yang mudah diampuni Tuhan, justru menghambat proses pemberantasan korupsi di negeri ini. Harus ditekankan bahwa korupsi bukan dosa kecil, tetapi dosa besar karena dampak negatifnya sangat besar bagi seluruh rakyat, negara dan bangsa.
Pemberantasan korupsi harus memiliki basis teologis. Sebagaimana kesepakatan dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, yakni Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama yang mengeluarkan fatwa bahwa korupsi adalah syirik yang tidak akan diampuni oleh Allah SWT. Tanpa basis teologis demikian, dosa korupsi dapat diputihkan dengan sedekah dan ibadah tertentu, apalagi jika dilakukan dalam situasi darurat.
Nilai nilai ajaran Islam juga perlu ditekankan dan dikontekstualisasikan secara lebih dan ekstra. Misalnya saja dengan mensosialisasikan hadist-hadist anti korupsi seperti hadist tentang menjaga amanah. Sebagaimana yang diketahui bersama bahwa semua tindakan korupsi dimulai dari penyalahgunaan amanah (abuse of trust), yang menjalar menjadi penyalahgunaan  kekuasaan atau wewenang (abuse of power), baik dalam urusan individu maupun publik. Amanah diyakini sebagai benteng anti korupsi yang sangat kuat. Jika benteng amanah telah rusak, maka yang lain pun akan rusak.

Dalam ajaran Islam secara gamblang mengharamkan bahkan mengutuk perbuatan korupsi, seperti tersirat dalam beberapa beberapa ayat dalam Al-Qur’an, diantaranya :

1.         QS. Al-Anfal (8) ayat 27 :
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menkhianati Allah dan rasulnya (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercakan kepadamu, sedang kamu mengetahui”
2.         QS Al-Anfal (8) ayat 58 :
Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat”
3.         QS Al-Baqarah (2) ayat 188 :
"Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui"
4.         QS An-Nisa’ (4) ayat 29 :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,…..”
5.         QS An-Nisa’ (4) ayat 58 :
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah maha menengar lagi maha melihat”
6.         QS An-Nisa’ (4) ayat 107 :
“Dan janganlah kamu berdebat (untuk membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu berkhianat lagi bergelimang dosa”
7.         QS Al-Hajj (22) ayat 38 :
“Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya Allah tidak menyukai tiap-tiap orang yang berkhianat lagi mengingkari nikmat”
Selanjutnya, dalam beberapa hadits, Rasulullah SAW bersabda :
1.         “Barangsiapa yang kami pekerjakan pada suatu jabatan, kemudian kami beri gaji, malahan diambilnya lebih dari itu, berarti penipuan” (HR Abu Daud)
2.         “Allah SWT melaknat orang yang menyuap, menerima suap, dan yang jadi perantara”(HR Ahmad Hakim).
3.         “Terlaknatlah orang yang disuap dan yang menyuap”(HR Ahmad).
4.         “Jika amanah disia-siakan, maka tunggulah kehancuran. Kemudian dinyatakan : “bagaimana maksud amanah disia-siakan itu? Rasul menjawab : “Jika suatu perkara (amanat/pekerjaan) diserahkan pada orang yang tidak ahli (profesional, maka tunggulah saat kehancuran” (HR Bukhori)
5.         :“Barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), lalu dia menyembunyikan dari kami sebatang jarum atau lebih dari itu, maka itu adalah ghulul (belenggu, harta korupsi) yang akan dia bawa pada hari kiamat” (HR Adiy bin ‘Amirah Al Kindi)

PENJELASAN FIRMAN ALLAH SWT DAN HADITS RASULULLAH SAW MENGENAI KORUPSI
Berdasarkan firman Allah SWT dan Hadits Rasulullah tersebut di atas,  Hukum Islam, disyariatkan Allah SWT untuk kemaslahatan manusia. Di antara kemaslahatan yang hendak diwujudkan dengan pensyariatan hukum tersebut ialah terpeliharanya harta dari pemindahan hak milik yang tidak menurut prosedur hukum, dan dari pemanfaatannya yang tidak sesuai dengan kehendak Allah SWT. Oleh karena itu, larangan mencuri, merampas, mencopet, dan sebagainya adalah untuk memelihara keamanan harta dari pemilikan yang tidak sah. Larangan menggunakan sebagai taruhan judi dan memberikannya kepada orang lain yang diyakini akan menggunakan dalam berbuat maksiat, karena pemanfaatan yang tidak sesuai dengan kehendak Allah SWT jadikan kemaslahatan yang dituju dengan tidak tercapai.

1.         Keharaman Korupsi Ditinjau Dari Beberapa Segi
a.       Curang
Perbuatan korupsi merupakan perbuatan curang yang secara langsung merugikan keuangan negara (masyarakat). Allah SWT memberi peringatan agar kecurangan dan penipuan itu dihindari, seperti pada firman-Nya,  "Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan harta rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu; kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.(QS. Ali Imran:161). Nabi Muhammad SAW telah menetapkan suatu peraturan bahwa setiap kembali dari peperangan, semua harta rampasan baik yang kecil maupun yang besar jumlahnya harus dilaporkan dan dikumpulkan di hadapan pimpinan perang kemudian Rasulullah saw. membaginya sesuai dengan ketentuan bahwa 1/5 dari harta rampasan itu untuk Allah SWT, Rasul, kerabat Rasul, anak yatim, orang miskin, dan ibnu sabil, sedangkan siasanya (4/5 lagi) diberikan kepada mereka yang berperang. (QS. Al-Anfal: 41).
b.      Khianat
Berkhianat terhadap amanat adalah perbuatan terlarang dan berdosa seperti ditegaskan Allah SWT dalam Alquran "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui(QS. Al-Anfal: 27). Pada ayat lain Allah SWT memerintahkan untuk memelihara dan menyampaikanamanat kepada yang berhak menerimanya, seperti dalam ayat yang berbunyi "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan [menyuruh kamu] apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil .”(QS. An-Nisa: 58). Kedua ayat ini mengandung pengertian bahwa mengkhianati amanat  adalah terlarang lagi haram.Dalam ayat tersebut Allah SWT mengeluarkan pernyataan bahwa, semua nabi Allah terbebas dari sifat khianat, di antaranya dalam urusan rampasan perang. Menurut penjelasan Ibnu Abbas RA, ayat ini diturunkan pada saat (setelah) perang Badar, orang-orang kehilangan sepotong kain tebal hasil rampasan perang. Lalu sebagian mereka, yakni kaum munafik mengatakan, bahwa mungkin Rasulullah telah mengambilnya. Maka Allah SWT menurunkan ayat ini untuk menunjukkan jika Rasulullah SAW terbebas dari tuduhan tersebut. Ibnu Katsir menambahkan, pernyataan dalam ayat tersebut merupakan pensucian diri Rasulullah dari segala bentuk khianat dalam penunaian amanah, pembagian rampasan perang, maupun dalam urusan lainnya. Hal itu, karena berkhianat dalam urusan apapun merupakan perbuatan dosa besar. Semua nabi Allah ma’shum (terjaga) dari perbuatan seperti itu. Mengenai besarnya dosa perbuatan ini, dapat kita pahami dari ancaman yang terdapat dalam ayat di bawah ini, yaitu ketika Allah mengatakan : “Barangsiapa yang berkhianat (dalam urusan rampasan perang itu), maka pada hari Kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu …” Ibnu Katsir mengatakan di dalamnya terdapat ancaman yang keras bagi yang melakukannya.
c.       Aniaya (Dholim)
Perbuatan korupsi untuk memperkaya diri dari harta negara adalah perbuatan lalim (aniaya), karena kekayaan negara adalah harta yang dipungut dari masyarakat termasuk masyakarat yang miskin dan buta huruf yang mereka peroleh dengan susah payah. Oleh karena itu, amatlah lalim seorang pejabat yang memperkaya dirinya dari harta masyarakat tersebut, sehinga Allah SWT memasukkan mereka ke dalam golongan yang celaka besar, sebagaimana firmanNya, “kecelakaan besarlah bagi orang-orang lalim yakni siksaan di hari yang pedih." (QS. Az-Zukhruf: 65).
d.      Suap dan Gratifikasi
Istilah lain yang serupa dengan korupsi tetapi tak sama adalah risywah/suap menyuap. Jika ghulul dilakukan oleh satu pihak yang aktif, risywah dilakukan oleh dua pihak yang sama-sama aktif dan sama-sama berkepentingan. Orang yang menyuap disebut dengan ar-rasyi dan yang meminta atau menerima suap disebut dengan al-murtasyi. Risywah sangatlah berbahaya bagi kehidupan masyarakat, karena dapat merusak sistem yang adil dan dapat memutarbalikan fakta dan kebenaran. Risywah dapat mengahambat nilai profesionalitas, merusak martabat pihak lain, dan menurunkan standar kualitas. Betapa tidak, masyarakat menjadi tidak jujur dalam menilai sesuatu, menyebabkan biaya tinggi dan dapat mempengaruhi keputusan seseorang. Dalam kehidupan politik, suap sering dikenal sebagai money politics (politik uang). Artinya, dengan menggunakan kekuatan uang (dan sejenisnya) keputusan atau pilihan seseorang dapat berubah. Suap seringkali digunakan untuk mengurangi hukuman seseorang, bahkan membebaskannya dari tuntutan hukum.Hadist-hadist tentang risywah, antara lain:
Bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Allah SWT melaknat orang yang menyuap dan orang yang disuap terkait masalah hukum/kebijakan.”
Hadist ini menjelaskan bahwa Allah SWT melaknat orang yang menyuap dan menerima suap dalam masalah hukum atau kebijakan. 
Dalam riwayat lain disebutkan Rasulullah SAW bersabda: “ Laknat Allah untuk orang yang memberi suap dan yang menerima suap.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majjah)
e.       Penipuan
Dalam lingkup masyarakat bawah, mungkin pernah atau bahkan banyak kita jumpai, seseorang yang mendapat amanah untuk membelanjakan sesuatu, kemudian setelah dibelanjakan, uang yang diberikan pemiliknya masih tersisa, tetapi dia tidak memberitahukan adanya sisa uang tersebut, meskipun hanya seratus rupiah, melainkan masuk ke ‘saku’nya, atau dengan cara memanipulasi nota belanja. Adapun koruptor kelas kakap, maka tidak tanggung-tanggung yang dia ambil sampai milyaran bahkan triliyunan. Sejauh mana bahaya perbuatan ini? Rasulullah bersabda dari ‘Adiy bin ‘Amirah Al Kindi Radhiyallahu 'anhu berkata :“Barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), lalu dia menyembunyikan dari kami sebatang jarum atau lebih dari itu, maka itu adalah ghulul (belenggu, harta korupsi) yang akan dia bawa pada hari kiamat”.  Maka ada seorang lelaki hitam dari Anshar berdiri menghadap Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,  lalu dia berkata,"Wahai Rasulullah, copotlah jabatanku yang engkau tugaskan." Nabi SAW bertanya,"Ada apa gerangan?” Dia menjawab,"Aku mendengar engkau berkata demikian dan demikian (maksudnya perkataan di atas)." Beliau pun berkata,"Aku katakan sekarang, (bahwa) barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), maka hendaklah dia membawa (seluruh hasilnya), sedikit maupun banyak. Kemudian, apa yang diberikan kepadanya, maka dia (boleh) mengambilnya. Sedangkan apa yang dilarang, maka tidak boleh. ”Nabi SAW menyampaikan peringatan atau ancaman kepada orang yang ditugaskan untuk menangani suatu pekerjaan (urusan), lalu ia mengambil sesuatu dari hasil pekerjaannya tersebut secara diam-diam tanpa seizin pimpinan atau orang yang menugaskannya, di luar hak yang telah ditetapkan untuknya, meskipun hanya sebatang jarum. Maka, apa yang dia ambil dengan cara tidak benar tersebut akan menjadi belenggu, yang akan dia pikul pada hari Kiamat. Yang dia lakukan ini merupakan khianat (korupsi) terhadap amanah yang diembannya. Dia akan dimintai pertanggungjawabnya nanti pada hari kiamat.
f.       Penggelapan (ghulul)
Selain itu, perbuatan korupsi (ghulul) ini termasuk dalam kategori memakan harta manusia dengan cara batil yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana dalam firmanNya : QS al Baqarah (2) ayat 188 "Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui" dan An-Nisa ayat 29 "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil…" Adapun larangan berbuat ghulul (korupsi) yang datang dari Nabi seperti tersebut pada Haditr diatas.Firman Allah dan Hadits di atas intinya berisi larangan berbuat ghulul (korupsi), yaitu mengambil harta di luar hak yang telah ditetapkan, tanpa seizin pimpinan atau orang yang menugaskannya. Asy Syaukani menjelaskan, dalam hadits ini terdapat dalil tidak halalnya (haram) bagi pekerja (petugas) mengambil tambahan di luar imbalan (upah) yang telah ditetapkan oleh orang yang menugaskannya, dan apa yang diambilnya di luar itu adalah ghulul.Dalam hadits tersebut, Rasulullah SAW menyampaikan secara global bentuk pekerjaan atau tugas yang dimaksud. Ini dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa peluang melakukan korupsi (ghulul) itu ada dalam setiap pekerjaan dan tugas, terutama pekerjaan dan tugas yang menghasilkan harta atau yang berurusan dengannya. Misalnya, tugas mengumpulkan zakat harta, yang bisa jadi bila petugas tersebut tidak jujur, dia dapat menyembunyikan sebagian yang telah dikumpulkan dari harta zakat tersebut, dan tidak menyerahkan.
Peluang melakukan korupsi ada di setiap tempat, pekerjaan ataupun tugas, terutama yang diistilahkan dengan tempat-tempat “basah”. Untuk itu, setiap muslim harus selalu berhati-hati, manakala mendapatkan tugas-tugas. Dengan mengetahui pintu-pintu ini, semoga kita selalu waspada dan tidak tergoda, sehingga nantinya mampu menjaga amanah yang menjadi tanggung jawab. Beberapa pintu-pintu korupsi pada zaman Rasulullah SAW yang pernah terjadi dan yang masih didapati pada saat sekarang diantaranya :
-        Saat pengumpulan harta rampasan perang, sebelum harta tersebut dibagikan.
Nabi SAW menceritakan :"Ada seorang nabi berperang, lalu ia   berkata   kepada kaumnya : "Tidak boleh mengikutiku (berperang) seorang yang telah menikahi wanita, sementara ia ingin menggaulinya, dan ia belum melakukannya; tidak pula seseorang yang yang telah membangun rumah, sementara ia belum memasang atapnya; tidak pula seseorang yang telah membeli kambing atau unta betina yang sedang bunting, sementara ia menunggu (mengharapkan) peranakannya". Lalu nabi itu pun berperang dan ketika sudah dekat negeri (yang akan diperangi) tiba atau hampir tiba shalat Ashar, ia berkata kepada matahari : "Sesungguhnya kamu diperintah, dan aku pun diperintah. Ya Allah, tahanlah matahari ini untuk kami," maka tertahanlah matahari itu hingga Allah membukakan kemenangan baginya. Lalu ia mengumpulkan harta rampasan perang. Kemudian datang api untuk melahapnya, tetapi api tersebut tidak dapat melahapnya. Dia (nabi itu) pun berseru (kepada kaumnya): "Sesungguhnya di antara kalian ada (yang berbuat) ghulul (mengambil harta rampasan perang secara diam-diam). Maka, hendaklah ada satu orang dari setiap kabilah bersumpah (berbai’at) kepadaku," kemudian ada tangan seseorang menempel ke tangannya (berbai’at kepada nabi itu), lalu ia (nabi itu) berkata,"Di antara kalian ada (yang berbuat) ghulul, maka hendaknya kabilahmu bersumpah (berbai’at) kepadaku," kemudian ada tangan dari dua atau tiga orang menempel ke tangannya (berbai’at kepada nabi itu), lalu ia (nabi itu) berkata,"Di antara kalian ada (yang berbuat) ghulul," maka mereka datang membawa emas sebesar kepala sapi, kemudian mereka meletakkannya, lalu datanglah api dan melahapnya. Kemudian Allah menghalalkan harta rampasan perang bagi kita (karena) Allah melihat kelemahan kita.
-        Seseorang yang diberi tugas mengumpulkan zakat maal oleh seorang pemimpin negeri, jika tidak jujur, sangat mungkin ia mengambil sesuatu dari hasil (zakat maal) yang telah dikumpulkannya, dan tidak menyerahkannya kepada pemimpin yang menugaskannya. Atau dia mengaku yang dia ambil adalah sesuatu yang dihadiahkan kepadanya. Peristiwa semacam ini pernah terjadi pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.Kemudian pada malam harinya selepas shalat Isya’ Nabi SAW berceramah (untuk memperingatkan perbuatan ghulul kepada khalayak). Di antara isi penjelasan beliau  mengatakan : "(Maka) Demi (Allah), yang jiwa Muhammad berada di tanganNya. Tidaklah seseorang dari kalian mengambil (mengkorupsi) sesuatu daripadanya (harta zakat), melainkan dia akan datang pada hari Kiamat membawanya di lehernya. Jika (yang dia ambil) seekor unta, maka (unta itu) bersuara. Jika (yang dia ambil) seekor sapi, maka (sapi itu pun) bersuara. Atau jika (yang dia ambil) seekor kambing, maka (kambing itu pun) bersuara …"
-        Hadiah untuk petugas, dengan tanpa sepengetahuan dan izin pemimpin atau yang menugaskannya.Dalam hal ini, Nabi SAW pernah bersabda : "Hadiah untuk para petugas adalah ghulul".
-        Setiap tugas apapun, terutama yang berurusan dengan harta, seperti seorang yang mendapat amanah memegang perbendaharaan negara, penjaga baitul maal atau yang lainnya, terdapat peluang bagi seseorang yang berniat buruk untuk melakukan ghulul (korupsi), padahal dia sudah memperoleh upah yang telah ditetapkan untuknya. Telah disebutkan dalam hadits yang telah lalu, yaitu sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang artinya : “Barangsiapa yang kami tugaskan dengan suatu pekerjaan, lalu kami tetapkan imbalan (gaji) untuknya, maka apa yang dia ambil di luar itu adalah harta ghulul (korupsi)”
2.         Hukum Memanfaatkan Hasil Korupsi
Istilah memanfaatkan mempunyai arti yang luas, termasuk memakan, mengeluarkannya untuk kepentingan ibadahsosial. dan sebagainya. Memanfaatkan harta kekayaan yang dihasilkan dari tindak pidana korupsi tidak berbeda dengan memanfaatkan harta yang dihasilkan dengan cara-cara ilegal lainnya, karena harta yang dihasilkan dari tindak korupsi sama dengan harta rampasan, curian, hasil judi, dan sebagainya. Jika cara memperolehnya sama, maka hukum memanfaatkan hasilnya pun sama. Dalam hal ini ulama fikih sepakat bahwa memanfaatkan harta yang diperoleh dengan cara-cara yang ilegal (terlarang) adalah haram, sebab pada prinsipnya harta itu bukanlah milik yang sah, melainkan milik orang lain yang diperoleh dengan cara yang terlarang.

Dasar yang menguatkan pendapat ulama fikih ini antara lain ialah firman Allah SWT: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu membawa (urusan) hartamu itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari pada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.”(QS. Al-Baqarah: 188).
Pada ayat ini terdapat larangan memakan harta orang lain yang diperoleh dengan cara-cara yang batil, termasuk di dalamnya mencuri, menipu, dan korupsi.
Harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi dapat juga dianalogikan dengan harta kekayaan yang diperoleh dengan cara riba, karena kedua bentuk perbuatan itu sama-sama ilegal. Jika memakan harta yang diperoleh secara riba itu diharamkan(QS. Ali Imran: 130), maka memakan harta hasil korupsi pun menjadi haram. Disamping itu ulama memakai kaidah fikih yang menunjukkan keharaman memanfaatkan harta korupsi yaitu, "apa yang diharamkan mengambilnya, maka haram memberikannya/memanfaatkannya”. 
Oleh karena itu, seperti yang ditegaskan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, selama suatu perbuatan dipandang haram, maka selama itu pula diharamkan memanfaatkan hasilnya. Namun, jika perbuatan itu tidak lagi dipandang haram, maka hasilnya boleh dimanfaatkan. Selama hasil perbuatan itu diharamkan memanfaatkannya, selama itu pula pelakunya dituntut untuk mengembalikannya kepada pemiliknya yang sah.
3.      Hukum Hasil Korupsi Untuk Sholat dan Haji
Jika ulama fikih sepakat mengharamkan pemanfaatan harta kekayaan yang diperoleh dengan cara korupsi, maka mereka berbeda pendapat mengenai akibat hukum dari pemanfaatan hasil korupsi tersebut :
-        Mazhab Syafi’i, Mazhab Maliki, dan Mazhab Hanafi mengatakan bahwa shalat dengan menggunakan kain yang diperoleh dengan cara yang batil (menipu/korupsi) adalah SAH selama dilaksanakan sesuai dengan syarat dan rukun yang ditetapkan. Meskipun demikian, mereka tetap berpendapat bahwa memakainya adalah dosa, karena kain itu bukan miliknya yang sah. Demikian juga pendapat mereka tentang hajidengan uang yang diperoleh secara korupsi, hajinya tetap dianggap sah, meskipun ia berdosa menggunakan uang tersebut. Menurut mereka, keabsahan suatu amalan hanya ditentukan oleh terpenuhinya rukun dan syarat amalan dimaksud.
-            Sedangkan menurut Imam Ahmad bin Hanbal, shalat dengan menggunakan kain hasil korupsiTIDAK SAH, karena menutup aurat dengan bahan yang suci adalah salah satu syarat sah shalat. Menutup aurat dengan kain yang haram memakainya sama dengan shalat memakai pakaian bernajis. Lagi pula shalat merupakan ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Oleh karena itu, tidak pantas dilakukan dengan menggunakan kain yang diperoleh dengan cara yang dilarang Allah SWT. Menurut Imam Ahmad bin Hanbal, haji yang dilakukan dengan uang hasil korupsi tidak sah. la memperkuat pendapatnya dengan hadis yang menerangkan bahwa Allah SWT adalah baik, dan tidak menerima kecuali yang baik (HR. At-Tabrani).
-           Nabi Muhammad saw. bersabda, "Jika seseorang pergi naik haji dengan biaya dari harta yang halal, maka ketika ia mulai membacakan talbiah datang seruan dari langit, 'Allah akan menyambut dan menerima kedatanganmu dan semoga kamu akan bahagia. Perbekalanmu halal, kendaraanmu juga halal, maka hajimu diterima dan tidak dicampuri dosa'.” Sebaliknya bila pergi dengan harta yang haram, lalu ia mengucapkan talbiah maka datang seruan dari langit, 'Tidak diterima kunjunganmu dan kamu tidak berbahagia. Perbekalanmu haram, belanjamu dari yang haram, maka hajimu berdosa, jauh dari pahala (tidak diterima)’.”(HR. At-Tabrani).
Atas dasar logika dan hadis tersebutlah Imam Ahmad bin Hanbal mengambil kesimpulan tentang tidak sahnya ibadah dengan menggunakan perlengkapan hasil korupsi.
4.         Hukuman Bagi Yang memanfaatkan Hasil Korupsi Di Akherat
Tidaklah Allah melarang sesuatu, melainkan di balik itu terkandung keburukan dan mudharat (bahaya) bagi pelakunya. Begitu pula dengan perbuatan korupsi (ghulul), tidak luput dari keburukan dan mudharat diantaranya :
-        Pelaku ghulul (korupsi) akan dibelenggu, atau ia akan membawa hasil korupsinya pada hariKiamat, sebagaimana ditunjukkan dalam surat Ali Imron  ayat 161 dan hadits ‘Adiy bin ‘Amirah  di atas. Dan dalam hadits Abu Humaid as Sa’idi, Rasulullah SAW bersabda : "Demi (Allah), yang jiwaku berada di tanganNya. Tidaklah seseorang mengambil sesuatu daripadanya (harta zakat), melainkan dia akan datang pada hari Kiamat membawanya di lehernya. Jjika (yang dia ambil) seekor unta, maka (unta itu) bersuara. Jika (yang dia ambil) seekor sapi, maka (sapi itu pun) bersuara. Atau jika (yang dia ambil) seekor kambing, maka (kambing itu pun) bersuara …”
-        Perbuatan korupsi menjadi penyebab kehinaan dan siksa api neraka pada hari Kiamat.Dalam hadits Ubadah bin ash Shamit, bahwa Nabi SAW:"…(karena) sesungguhnya ghulul (korupsi) itu adalah kehinaan, aib dan api neraka bagi pelakunya".
-        Orang yang mati dalam keadaan membawa harta ghulul (korupsi), ia tidak mendapat jaminan atau terhalang masuk surga. Hal itu dapat dipahami dari sabda Nabi SAW :"Barang siapa berpisah ruh dari jasadnya (mati) dalam keadaan terbebas dari tiga perkara, maka ia (dijamin) masuk surga. Yaitu kesombongan, ghulul (korupsi) dan hutang".
-        Allah tidak menerima shadaqah seseorang dari harta ghulul (korupsi), sebagaimana dalam sabda Nabi SAW. "Shalat tidak akan diterima tanpa bersuci, dan shadaqah tidak diterima dari harta ghulul (korupsi)
-        Harta hasil korupsi adalah haram, sehingga ia menjadi salah satu penyebab yang dapat menghalangi terkabulnya do’a, sebagaimana dipahami dari sabda Nabi SAW :"Wahai manusia, sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah memerintahkan orang-orang yang beriman dengan apa yang Allah perintahkan kepada para rasul. Allah berfirman,"Wahai para rasul, makanlah dari yang baik-baik dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan". Dia (Allah) juga berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman, makanlah yang baik-baik dari yang Kami rizkikan kepada kamu," kemudian beliau (Rasulullah)  menceritakan seseorang yang lama bersafar, berpakaian kusut dan berdebu. Dia menengadahkan tangannya ke langit (seraya berdo’a): "Ya Rabb…, ya Rabb…," tetapi makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan dirinya dipenuhi dengan sesuatu yang haram. Maka, bagaimana do’anya akan dikabulkan?
5.         Hukuman Bagi Koruptor Di Dunia
-        Wewenang Hakim
Ulama fikih telah membagi tindak pidana Islam kepada tiga kelompok, yaitu tindak pidana hudud, tindak pidana pembunuhan, dan tindak pidana takzir (jarimah). Tindak pidana korupsi termasuk dalam kelompok tindak pidana takzir. Oleh sebab itu, penentuan hukuman, baik jenis. bentuk, dan jumlahnya didelegasikan syara' kepada hakim. Dalam menentukan hukuman terhadap koruptor, seorang hakim harus mengacu kepada tujuan syara' dalam menetapkan hukuman, kemaslahatan masyarakat, situasi dan kondisi lingkungan, dan situasi serta kondisi sang koruptor, sehingga sang koruptor akan jera melakukan korupsi dan hukuman itu juga bisa sebagai tindakan preventif bagi orang lain.
-        Usulan Hukuman Mati
Hukuman bagi koruptor selama ini tak mendatangkan efek jera. Karena itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) merekomendasikan agar pelaku korupsi dihukum mati. Rekomendasi itu disampaikan dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) MUI. Selain mendorong pemberlakuan hukuman paling berat itu, MUI juga mengusulkan agar terpidana korupsi dihukum kerja sosial. “MUI mendorong majelis hakim pengadilan tipikor menjatuhkan hukuman seberat-beratnya kepada koruptor kakap, bahkan hukuman mati. MUI juga merekomendasikan kerja sosial, selain pidana penjara. Mereka juga harus membersihkan fasilitas publik, seperti pasar, terminal, lapangan, panti asuhan, dan sebagainya untuk memberi efek jera dan mencegah masyarakat agar tidak mengikuti jejak para koruptor,” kata Ketua MUI Amidhan saat membacakan rekomendasi. Menurut Amidhan, begitu besar desakan masyarakat kepada MUI agar mengeluarkan seruan supaya koruptor mendapat hukuman yang memberi efek jera, mengingat kejahatan korupsi demikian masif di negeri ini.”Masyarakat menilai selama ini para koruptor tetap bisa hidup nyaman di tahanan, karena bisa membeli fasilitas dari oknum-oknum di penjara, sehingga tidak ada efek jera,” kata dia. Amidhan juga mengatakan, MUI mendorong agar majelis hakim konsisten menetapkan putusan untuk menyita seluruh harta hasil korupsi.
-        Masyarakat menghendaki Hukuman Mati
Sebelum ini, usulan hukuman mati bagi koruptor sebenarnya telah disampaikan sejumlah lembaga dan aktivis antikorupsi. Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama, tahun lalu, menyampaikan fatwa serupa. Sekjen PBNU Marsudi Syuhud saat itu mengatakan, usulan tersebut merupakan masukan warga nahdliyyin di tingkat ranting. Menurutnya, para pelaku korupsi cenderung tidak punya rasa malu lagi, bahkan tak jarang mencalonkan diri untuk meraih jabatan di pemerintahan.


-        Komitmen KPK
Rekomendasi itu kemudian disampaikan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, hingga kini belum ada realisasi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan sepakat dengan hukuman mati bagi koruptor. UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi memungkinkan penerapan hukuman itu. ”Hukuman mati dimungkinkan dalam Pasal 2 UU Tipikor,” kata Kepala Biro Humas KPK Johan Budi.






Post a Comment

Lebih baru Lebih lama