BAB 2
SEJARAH KORUPSI, JENIS
DAN BENTUK-BENTUK KORUPSI
SEJARAH KORUPSI
Tidak ada jawaban yang tunggal dan sederhana untuk menjawab mengapa korupsi timbul dan berkembang demikian masif di suatu negara. Ada yang mengatakan bahwa korupsi ibarat penyakit kanker “ganas” yang sifatnya tidak hanya kronis tapi juga akut. Ia menggerogoti perekonomian sebuah negara secara perlahan, namun pasti. Penyakit ini menempel pada semua aspek bidang kehidupan masyarakat sehingga sangat sulit untuk diberantas.
Asal mula berkembangnya korupsi barangkali dapat di temukan sumbernya pada fenomena sistem pemerintahan monarki absolut tradisional yang berlandaskan pada budaya feodal. Pada masa lalu, tanah-tanah di wilayah suatu negara atau kerajaan adalah milik mutlak raja, yang kemudian di serahkan kepada para pangeran dan bangsawan, yang di tugasi untuk memungut pajak, sewa dan upeti dari rakyat yang menduduki tanah tersebut. Di samping membayar dalam bentuk uang atau in natura, sering pula rakyat di haruskan membayar dengan hasil bumi serta dengan tenaga kasar, yakni bekerja untuk memenuhi berbagai keperluan sang raja atau penguasa. Elite penguasa yang merasa diri sebagai golongan penakluk, secara otomatis juga merasa memiliki hak atas harta benda dan nyawa rakyat yang di taklukan. Hak tersebut biasanya di terjemahkan dalam tuntutan yang berupa upeti dan tenaga dari rakyat (Onghokham, 1995).
Seluruh upeti yang masuk ke kantong para pembesar ini selain di pergunakan untuk memenuhi kebutuhan pembesar itu sendiri, pada dasarnya juga berfungsi sebagai pajak yang di pergunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan negara. Hanya saja, belum ada lembaga yang secara resmi ditunjuk sebagai pengumpul dana (revenue gathering). Parahnya kedudukan dalam pemerintahan sebagai pembesar atau pejabat ini dapat diperjualbelikan (venality of office), yang menyebabkan pembeli jabatan tadi berusaha untuk mencari kompensasi atas uang yang telah dikeluarkannya dengan memungut upeti sebesar-besarnya dari rakyat.
Pada masa-masa sesudahnya, kondisi ini ternyata memperkuat sistem patron-client, bapak-anak atau kawula-gusti, dimana seorang pembesar sebagai patron harus dapat memenuhi harapan rakyatnya, tentu saja dengan adanya jasa-jasa timbal balik dari rakyat sebagai client-nya. Hubungan patron-client ini merupakan salah satu sumber korupsi, sebab seorang pejabat untuk membuktikan efektivitasnya harus selalu berbuat sesuatu tanpa menghiraukan apakah ini untuk kepentingan umum, kelompok atau perorangan, yakni para anak buah yang seringkali adalah saudaranya sendiri. Selain itu, sistem patron-client juga menjadi faktor perusak koordinasi dan kerjasama antar para penguasa, dimana timbul kecendrungan persaingan antara para penguasa/pejabat untuk menganak-emaskan orangnya. Disinilah faksionalisme di kalangan elite menjadi berkepanjangan.
Korupsi yang sekarang merajalela di Indonesia, berakar pada masa tersebut ketika kekuasaan pada birokrasi patrimonial (Weber) yang berkembang pada kerangka kekuasaan feodal dan memungkinkan suburnya nepotisme. Dalam struktur yang demikian, maka penyimpangan, penyuapan, korupsi dan pencurian akan dengan mudah berkembang (Mochtar Lubis, 1995).
Dalam perkembangan selanjutnya, dapat dilihat bahwa korupsi tidak terbatas pada hal-hal yang sifatnya penarikan pungutan dan nepotisme yang parah, melainkan juga kepada hal-hal lain sepanjang perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
JENIS-JENIS KORUPSI
Menurut perspektif hukum, definisi korupsi telah di jelaskan dalam UU No. 31 Tahun 1999. Undang-undang tersebut kini telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001. Sebelum membahasnya, terlebih dulu dibahas apa yang dimaksud Korupsi, Kolosi dan Nepotisme. Korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hokum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasiyang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara. Kolusi adalah permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antar penyelenggara negara atau antara penyelenggara negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau Negara. Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan Negara.
Definisi korupsi menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dijelaskan dalam 13 buah pasal. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi di kelompokkan ke dalam 30 (tiga puluh) bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena korupsi. Dari ke 30 (tiga puluh) bentuk/jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat di kelompokkan menjadi 7 (tujuh) kategori sebagai berikut:
Keuangan Negara
Suap-menyuap
Penggelapan dalam jabatan
Pemerasan
Perbuatan curang
Benturan Kepentingan Dalam Pengadaan
Gratifikasi
Penjelasan ke tujuh kategori korupsi :
Korupsi yang terkait dengan keuangan negara
Dalam Undang-Undang yang dimaksud dengan Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik Negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Korupsi yang terkait dengan kerugian negara diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 :
Pasal 2 (melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri dan dapat merugikan keuangan Negara)
Pasal 3 (menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan diri sendiri dan dapat merugikan keuangan negara).
Keuangan Negara meliputi :
Hak Negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang dan melakukan pinjaman
Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan Negara dan membayar tagihan pihak ketiga
Penerimaan Negara
Pengeluaran Negara
Penerimaan Daerah
Pengeluaran Daerah
Kekayaan Negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan Negara/perusahaan daerah.
Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum
Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah
Korupsi yang terkait dengan Suap-menyuap
Pengertian Penyuapan (Bribery), digunakan untuk memanipulasi orang dengan membeli pengaruh yang dimiliki. Penyuapan dapat didefinisikan sebagai : penawaran (offering), pemberian (giving), penerimaan (receiving), atau meminta (soliciting) sesuatu yang bernilai dengan tujuan untuk mempengaruhi (influencing) tindakan dari seorang pejabat dalam melaksanakan tugas yang berkaitan dengan masyarakat atau hukum.
Menurut Transparency International (TI), suap dalam wujudnya dapat terdiri dari berbagai bentuk selain uang, antara lain berupa :
Hadiah dan Hiburan (Gifts and Entertainment)
Hadiah yang mahal atau tawaran hiburan mewah dapat dipakai sebagai suap yang halus daripada tunai, tetapi dibuat dengan maksud yang disengaja untuk mendapat keuntungan secara tidak wajar.
Konflik Kepentingan (Conflicts of Interest)
Terjadi ketika kepentingan atau hubungan pribadi lebih diutamakan daripada kepentingan bisnis. Konflik kepentingan dapat mengacaukan penilaian dan menggiring kepada aksi-aksi tidak jujur dan terbuka.
Sumbangan Amal dan Pensponsoran (Charitable Contributions and Sponsorship)
Suap bisa disamarkan dalam bentuk sumbangan amal atau sponsor, dibuat untuk memenangkan suatu perjanjian. Pensponsoran terjadi ketika bisnis membayar dalam bentuk tunai atau barang, supaya dapat mengkaitkan namanya dengan suatu peristiwa, misal olah raga dan lain-lain
Pembayaran Fasilitas (Facilitation Payments)
Pembayaran fasilitas adalah bentuk lain dari penyuapan, mungkin saja tidak besar jumlah yang diminta oleh penyedia jasa untuk “menfasilitasi” layanan atau untuk “mempercepat” pemberian layanan dan izin, misalnya layanan bea cukai, imigrasi dan lain-lain.
Sumbangan Politis (Political Contributions)
Suap dapat mengambil bentuk lain sebagai sumbangan politis kepada sebuah partai politik
Korupsi yang terkait Suap-menyuap diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 :
Pasal 5 ayat (1) huruf a (menyuap pegawai negeri);
Pasal 5 ayat (1) huruf b (menyuap pegawai negeri);
Pasal 5 ayat (2) (pegawai negeri menerima suap);
Pasal 6 ayat (1) huruf a (menyuap hakim);
Pasal 6 ayat (1) huruf b (menyuap advokat);
Pasal 6 ayat (2) (hakim dan advokat menerima suap);
Pasal 11 (pegawai negeri menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya);
Pasal 12 huruf a (pegawai negeri menerima suap);
Pasal 12 huruf b (pegawai negeri menerima suap);
Pasal 12 huruf c (hakim menerima suap);
Pasal 12 huruf d (advokat menerima suap).
Pasal 13 (memberi hadiah kepada pegawai negeri karena jabatannya);
Korupsi yang terkait dengan Penggelapan dalam Jabatan
Korupsi yang terkait dengan Penggelapan dalam Jabatan diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 :
Pasal 8 (pegawai negeri menggelapkan uang atau membiarkan penggelapan);
Pasal 9 (pegawai negeri memalsukan buku untuk pemeriksaan administrasi);
Pasal 10 huruf a (pegawai negeri merusakkan bukti);
Pasal 10 huruf b (pegawai negeri membiarkan orang lain merusakkan bukti);
Pasal 10 huruf c (pegawai negeri membantu orang lain merusakkan bukti).
Korupsi yang terkait Perbuatan Pemerasan
Korupsi yang terkait Perbuatan Pemerasan diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 :
Pasal 12 huruf e (pegawai negeri memeras);
Pasal 12 huruf g (pegawai negeri memeras);
Pasal 12 huruf f (pegawai negeri memeras pegawai negeri yang lain).
Korupsi yang terkait Perbuatan Curang
Korupsi yang terkait dengan Perbuatan Curang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 :
Pasal 7 ayat (1) huruf a (pemborong berbuat curang);
Pasal 7 ayat (1) huruf b (pengawas proyek membiarkan perbuatan curang);
Pasal 7 ayat (1) huruf c (rekanan TNI/Polri berbuat curang);
Pasal 7 ayat (1) huruf d (pengawas TNI/Polri membiarkan perbuatan curang);
Pasal 7 ayat (2) (penerima barang TNI/Polri membiarkan perbuatan curang);
Pasal 12 huruf h (pegawai negeri menyerobot tanah negara sehingga merugikan orang lain).
Korupsi yang terkait Benturan Kepentingan dalam Pengadaan
Korupsi yang terkait Benturan Kepentingan dalam Pengadaan diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 :
Pasal 12 huruf i (pegawai negeri turut serta dalam pengadaan yang di urusnya).
Korupsi yang terkait Gratifikasi
Yang dimaksud dengan Gratifikasi yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Korupsi yang terkait Gratifikasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 :
Pasal 12 B sebagaimana telah diubah dengan Pasal 12 C (pegawai negeri menerima gratifikasi dan tidak lapor KPK).
Gratifikasi dikategorikan kejahatan korupsi jika gratifikasi kepada pegawai negeri atau Penyelenggara Negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 12 B ayat 1 tidak berlaku jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Penyelenggara Negara yang wajib melaporkan Gratifikasi adalah :
Penyelenggara Negara
Berdasarkan Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 Bab II pasal 2, Penyelenggara Negara meliputi :
Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara
Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara
Menteri
Gubernur
Hakim
Pejabat Negara lainnya
Duta Besar
Wakil Gubernur
Bupati/Walikota dan Wakilnya
Pejabat lainnya yang memiliki fungsi trategis
Komisaris, Direksi, dan Pejabat Struktural pada BUMN dan BUMD
Pimpinan Bank Indonesia
Pimpinan Perguruan Tinggi
Pimpinan Eselon Satu dan Pejabat lainnya yang disamakan pada Lingkungan Sipil dan Militer
Jaksa
Penyidik
Panitera Pengadilan
Pimpinan Proyek atau Bendaharawan Proyek
Pegawai Negeri
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 yang wajib melaporkan Gratifikasi adalah:
Pegawai pada MA, MK
Pegawai pada Kementrian/Departemen dan LPND
Pegawai pada Kejagung
Pegawai pada Bank Indonesia
Pimpinan dan Pegawai Sekretariat MPR/DPR/DPD/DPRD Propinsi/Dati II
Pegawai pada Perguruan Tinggi
Pegawai pada Komisi atau Badan yang dibentuk berdasarkan UU, Keppres maupun PP
Pimpinan dan pegawai pada Sekr. Presiden, Sekr Wk. Presiden, Sekkap dan Sekmil
Pegawai pada BUMN dan BUMD
Pegawai pada Badan Peradilan
Anggota TNI dan POLRI serta Pegawai Sipil dilingkungan TNI dan POLRI
Pimpinan dan Pegawai dilingkungan PemdaDati I dan Dati II
Tata Cara Pelaporan Gratifikasi :
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Pasal 12 C ayat 2 dan UU No. 30 Tahun 2002 Pasal 16, setiap Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima Gratifikasi wajib melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi dengan cara sebagai berikut :
Penerima gratifikasi wajib melaporkan penerimaannya selambat lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja kepada KPK, terhitung sejak tanggal Gratifikasi tersebut diterima.
Laporan disampaikan secara tertulis dengan mengisi formulir sebagaimana ditetapkan oleh KPK dengan melampirkan dokumen yang berkaitan dengan gratifikasi.
Formulir sebagaimana huruf b sekurang-kurangnya memuat :
Nama dan alamat lengkap penerima dan pemberi gratifikasi
Jabatan Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara
Tempat dan waktu penerima gratifikasi
Uraian jenis gratifikasiyang diterima
Nilai gratifikasi yang diterima
Formulir pelapor gratifikasi dapat diperoleh di kantor KPK
Selain itu juga dapat dikategorikan kedalam perbuatan korupsi adalah setiap pemberian yang dikaitkan dengan kedudukan atau jabatan tertentu. UU Nomor 3 tahun 1971 tentang pemberantasan tipikor (tindak pidana korupsi) menentukan bahwa seseorang dianggap melakukan tindak pidana korupsi apabila :
Secara melawan hukum melakukan perbuatan atau memperkaya diri sendiri atau
orang lain, atau sesuatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau sesuatu badan,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat sesuatu kekuasaan dan kewenangan yang melekat pada jabatan atau kedudukannya. Termasuk dalam hal ini adalah siapa saja yang tanpa alasan yang wajar, tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib dalam waktu yang sesingkat-singkatnya setelah menerima suatu pemberian atau janji.
Bahkan untuk mencegah terjadinya korupsi, usaha-usaha percobaan atau permufakatan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana tersebut diatas, sudah dianggap sebagai perbuatan korupsi. Dari segi tipologi, Alatas (1987) membagi korupsi kedalam tujuh jenis yang berlainan. Ketujuh jenis korupsi itu adalah sebagai berikut :
Korupsi Transaktif (transactive corruption), menunjuk kepada adanya kesepakatan timbal balik antara pemberi dan pihak penerima, demi keuntungan kedua belah pihak.
Korupsi yang memeras (extortive corruption), menunjuk adanya pemaksaan kepada
pihak pemberi untuk menyuap guna mencegah kerugian yang sedang mengancam dirinya, kepentingannya atau hal-hal yang dihargainya.
Korupsi Investif (investive corruption), adalah pemberian barang atau jasa tanpa ada hubungan langsung dengan keuntungan tertentu, selain keuntungan yang dibayangkan akan diperoleh dimasa yang akan datang.
Korupsi Perkerabatan (nepotistic corruption) adalah penunjukan yang tidak sah
terhadap teman atau sanak saudara untuk memegang jabatan dalam pemerintahan, atau tindakan yang memberikan perlakuan istimewa secara bertentangan dengan norma dan peraturan yang berlaku.
Korupsi Defensif (defensive corruption) adalah perilaku korban korupsi dengan
pemerasan. Korupsinya adalah dalam rangka mempertahankan diri.
Korupsi Otogenik (autogenic corruption) yaitu korupsi yang dilakukan oleh
seorang diri.
Korupsi Dukungan (supportive corruption) adalah korupsi yang dilakukan untuk
memperkuat korupsi yang sudah ada.
SEBAB-SEBAB TERJADINYA KORUPSI
Korupsi merupakan masalah yang kompleks, dalam arti dapat didekati dari berbagai segi baik kriminologi, kebudayaan, politik, ekonomi, sosiologi, filsafat dan sebagainya, maka dapat dimengerti jika faktor penyebab timbulnya korupsi di negara-negara sedang berkembang juga dapat bersumber dari berbagai aspeknya. Namun secara umum dapat dikatakan bahwa tingkat moralitas di dalam masyarakat niscaya akan menyuburkan proses terjadinya korupsi.
Faktor Pendorong Untuk Melakukan Korupsi/Kecurangan
Kebutuhan untuk mempertahankan kelangsungan hidup dapat menjadikan suatu motivasi baik perilaku yang jujur maupun tidak jujur. Ketika terjadinya persaingan yang keras dan saling membahayakan, maka cara-cara yang tidak jujur akan dibenarkan/dirasionalisasikan secara cepat. Ketidakjujuran akan menjadi senjata dalam berbagai persaingan untuk kelangsungan hidup. Persaingan keras dalam bidang ekonomi, social atau politik sering mendorong terjadinya perilaku tidak jujur. Hal serupa sudah sering terjadi dalam dunia bisnis.
Meskipun terdapat banyak cara untuk melakukan korupsi/kecurangan, secara umum terdapat tiga unsur penting yang menyebabkan seseorang melakukan kecurangan, yaitu : (1) adanya tekanan (perceived pressure), (2) adanya kesempatan (perceived opportunity) dan (3) berbagai cara untuk merasionalisasi agar kecurangan dapat diterima (some way to rasionalize the fraud as acceptable). Ketiga unsur tersebut disebut dengan Segitiga Kecurangan seperti terlihat pada gambar.
TEKANAN
(Pressure)
KESEMPATAN RASIONALISASI
(Opportunity) (Rationalize)
Setiap pelaku kecurangan menghadapi berbagai macam tekanan (pressure). Tekanan yang paling kuat adalah berkaitan dengan kebutuhan finansial, meskipun ia menghadapi tekanan selain finansial (seperti frustasi ditempat kerja, kebutuhan untuk melaporkan hasil yang lebih baik daripada kinerja yang sebenarnya, atau tantangn untuk menyiasati system) juga menjadi faktor pendorong untuk melakukan kecurangan.
Unsur Tekanan (Pressure)
Tekanan merupakan segala sesuatu yang telah terjadi dalam kehidupan pribadi dari perilaku kecurangan yang menciptakan adanya kebutuhan akan uang dan kemudian mendorongnya untuk korupsi. Para ahli sepakat membagi tekanan menjadi empat jenis :
Tekanan keuangan, seperti serakah, gaya hidup melebihi kemampuan, memiliki utang yang besar dan mengalami kerugian keuangan
Sikap buruk, misalnya suka berjudi, mengkonsumsi obat terlarang dan alkohol atau kebutuhan menikah lagi
Tekanan yang berhubungan dengan pekerjaan, misalnya kurang dihargai atas kinerja yang telah dicapai, ketidakpuasan terhadap pekerjaan, takut kehilangan jabatan, tidak diperhatikan untuk promosi, atau perasaan dibayar rendah
Tekanan yang lain, seperti meningkatnya gaya hidup dari suami atau istri dan keinginan untuk menjaga gengsi
Unsur Kesempatan (Opportunity)
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Cressey, pelaku kecurangan selalu memiliki peluang dan pengetahuuan untuk melakukan kecurangn. Pihak karyawan dan para manager yang memiliki masa kerja yang lama yang melakukan kecurangan, hal ini disebablkan karena mereka sangat memahami kondisi riil perusahaan, sehingga mereka mengetahui letak kelemahan system intern dan juga memiliki ilmu yang cukup agar kejahatan yang mereka lakukan dapat berhasil dengan baik.
Meskipun demikian faktor utama adanya peluang adalah terletak pada pengendalian intern. Dengan adanya kelemahan atau bahkan tiadanya pengendalian intern memberikann peluang bagi pelaku kecurangan untuk melakukan kejahatan.
Unsur Rasionalisasi (Rationalization)
Rasionalisasi memberikan kontribusi terhadap terjadinya kecurangan karena rasionalisasi akan memberikan suatu pembenaran tentang apa saja yang kita lakukan dengan tujuan untuk memuaskan diri sendiri, meskipun tidak memiliki alasan yang kuat dari pembenaran tersebut juga tidak dapat dipertanggung jawabkan baik dari segi moral maupun etika. Misalkan seseorang yang melakukan korupsi, dari uang korupsi tersebut sebagian digunakan untuk kegiatan keagamaan dan menyantuni fakir miskin. Contoh lain, untuk mempertahankan perilakunya yang tidak jujur dengan berargumen bahwa ia mencuri dari yang kaya dan diberikan kepada yang miskin.
Faktor Politis dan Sosiokultural
Permasalahan korupsi disebabkan oleh dua kondisi pokok (Alatas, 1987), pertama, sebagai akibat dari system birokrasi patrimonial yang tidak mengenal perbedaan antara lingkup pribadi dengan lingkup resmi, maka pelaksanaan pemerintahan di anggap sebagai urusan pribadi dan kekuasaan politik dianggap sebagai bagian dari milik pribadinya, yang dapat dieksploitasi dengan cara menarik berbagai sumbangan atau pungutan. Bahkan sebagian orang masih menganggap bahwa pemerintah hanyalah merupakan perluasan belaka, sementara para pemimpin politik serta birokrat sebagai tokoh-tokoh paternal, yang mana kenyataan ini menimbulkan harapan terhadap hubungan timbal balik antara pemerintah dengan yang diperintah. Kedua, masih kuatnya sistem persanakan atau kuatnya solidaritas kekerabatan dan kebiasaan saling memberi hadiah antar keluarga dalam masyarakat.
Faktor-faktor penyebab timbulnya korupsi tersebut kelihatannya masih berada pada tataran atau dimensi konsepsional yang abstrak sifatnya, sedangkan dalam tataran atau dimensi praktis, yang sesungguhnya merupakan ‘faktor pemelihara’ terus berlangsungnya korupsi, belum tersentuh. Dimensi praktis atau dapat dikatakan juga aspek administratif penyebab munculnya korupsi adalah sebagai berikut :
Sistem administrasi yang belum sempurna untuk mencegah kebocoran. Dalam sistem manajemen yang baik, fungsi-fungsi perencanaan, pengelolaan / pelaksanaan dan evaluasi / pengawasan haruslah merupakan suatu sistem yang integral dan tidak berdiri sendiri. Ini dimaksudkan agar fungsi-fungsi tersebut dapat menjadi instrumen yang efektif dalam upaya mencapai tujuan organisasi, sekaligus untuk memastikan bahwa pengelolaan organisasi telah sesuai dengan perencanaan yang disusun sebelumnya. Jika salah satu fungsi manajemen tadi tidak berjalan, misalnya fungsi pengawasannya, maka dapat diperkirakan bahwa organisasi sedang menghadapi suatu masalah serius. Kebocoran, pemborosan maupun kesalahan-kesalahan administrasi lainnya mengindikasikan bahwa system administrasi yang ada belum berfungsi dengan baik.
Tingkat kesejahteraan aparatur yang masih dibawah standar. Ada suatu mitos yang berkembang bahwa Pegawai Negeri atau aparatur adalah pejuang bangsa, abdi negara dan abdi masyarakat. Oleh karena itu, merupakan hal yang tabu apabila seorang aparatur lebih mementingkan pemenuhan kebutuhan sehari-harinya dibandingkan pengabdiannya. Hal ini menjadi semacam pembenar mengenai rendahnya penghasilan pegawai negeri. Dengan penghasilan yang pas-pasan, sementara diluar lingkungannya banyak terjadi kemewahan
yang diperlihatkan oleh para pengusaha dan pejabat tinggi, maka terjadilah kesenjangan antara kelompok yang memiliki fasilitas, lobby maupun monopoli disatu pihak dengan aparatur kebanyakan dilain pihak. Selain itu terjadi kesenjangan pula antara penghasilan yang diterimanya setiap bulan dengan biaya kebutuhan yang harus dikeluarkan. Berbagai kesenjangan inilah yang mendorong aparatur untuk menyeleweng manakala ada kesempatan untuk itu.
Sanksi hukum secara konkrit belum maksimal dan sulit ditegakkan. Meskipun sudah ada peraturan yang secara khusus mengatur mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi, namun dalam implementasinya sulit untuk ditegakkan. Ini terkait dengan kemauan politik pemerintah yang belum memperlihatkan secara serius niat untuk memerangi korupsi yang ada di negaranya. Sering dipakainya hak Mahkamah Agung untuk mendefonir atau menghentikan penuntutan dengan alasan kepentingan umum, semakin memperlihatkan keengganan pemerintah untuk memberantas korupsi tadi. Secara sosiologis keadaan seperti ini terkait dengan sistem birokrasi patrimonial sebagaimana telah disinggung diatas. Pemberantasan terhadap korupsi bisa berarti juga memerangi sanak saudara atau dirinya sendiri.
Kecenderungan kolusi yang sulit dibuktikan. Masih dalam konteks birokrasi patrimonial dan rendahnya tingkat kesejahteraan aparatur, kesemuanya ini membawa kepada kecenderungan terjadinya kolusi antara penguasa dengan pengusaha, atau antara birokrat dengan konglomerat. Dalam prakteknya, fakta adanya kolusi hanya bisa diketahui secara formil, sedangkan kebenaran materiilnya sangat sulit untuk dibuktikan. Disinilah diperlukan pembaharuan sistem hukum yang semata-mata mengandalkan kebenaran formil dalam pembuktiannya, tetapi juga harus memperhatikan perasaan keadilan dalam masyarakat secara materiil.
DAMPAK BURUK KORUPSI
Apapun faktor penyebab terjadinya korupsi, yang pasti kegiatan tersebut membawa dampak, akibat atau pengaruh yang sangat negatif. Meskipun ada beberapa sarjana yang mengemukakan akibat positif dari korupsi, tetapi jelas bahwa akibat negatifnya jauh lebih parah dibanding positifnya. Adapun dampak negatif dari korupsi itu menurut David Bailey dalam tulisannya yang berjudul “The Effect of Corruption in a Developing Nations” (dalam Western Political Quarterly, 1960) adalah sebagai berikut :
Korupsi merupakan kegagalan pemerintah untuk mencapai tujuan-tujuan yang
ditetapkannya. Misalnya jika lisensi untuk perusahaan-perusahaan dalam negeri direncanakan untuk menjamin agar sumber-sumber yang langka dimanfaatkan untuk proyek-proyek yang mendapat prioritas utama dalam segi pembinaan pembangunan ekonomi jangka panjang, maka korupsi menyebabkan kerugian karena menghalangi pembangunan ekonomi secara keseluruhan
Korupsi menyebabkan kenaikan biaya administrasi
Jika korupsi terjadi dalam bentuk komisi, akan mengakibatkan berkurangnya jumlah dana yang seharusnya dipakai untuk keperluan masyarakat umum. ini merupakan pengalihan sumber-sumber kepentingan umum untuk keperluan perorangan
Korupsi mempunyai pengaruh buruk pada pejabat-pejabat lain dari aparat
pemerintahan. Korupsi dalam hal ini menyebabkan merosotnya moral dan akhlak, karena setiap orang berpikir, mengapa hanya ia saja yang harus menjunjung akhlak yang tinggi
Korupsi menurunkan martabat penguasa dalam pandangan khalayak umum, serta
mengurangi kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.
Dengan merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap keadilan sikap pejabat pemerintah, timbullah keinginan akan hubungan-hubungan khusus guna mengumpulkan ‘bobot’ yang cukup untuk membuyarkan tuntutan-tuntutan yang sama dari orang lain
Korupsi menyebabkan keputusan publik dipertimbangkan berdasarkan uang dan bukan berdasarkan kebutuhan manusia.
Disamping akibat-akibat korupsi seperti dikatakan Bayley, terdapat identifikasi faktor-faktor pengaruh korupsi yang dilakukan oleh Alatas (1987). Menurutnya, korupsi membawa pengaruh sebagai berikut:
Timbulnya ketidakefisienan yang menyeluruh di dalam birokrasi
Dalam bidang ekonomi, korupsi menimbulkan beban yang harus dipikul oleh masyarakat. Sebagai implikasi dari tingginya korupsi misalnya, akan maembuat harga-harga menjadi lebih mahal, disamping beban berupa pajak dan pungutan lain yang sah. Selain itu, pengelakan pajak yang dilakukan oleh orang yang korup, harus ditutup dengan pajak dari warga negara yang jujur. Selanjutnya, secara ekonomis korupsi juga menaikkan biaya pelayanan, serta mengabaikan produktivitas dan kesejahteraan rakyat
Pengaruh lainnya seperti larinya tenaga ahli ke luar negeri, lahirnya berbagai bentuk
ketidakadilan yang mempengaruhi pribadi-pribadi yang tidak terhitung banyaknya, pemerintah yang mengabaikan tuntutan terhadap kelayakan pemerintahan, sikap masa bodoh yang meluas, kelumpuhan psikologis dalam arti tidak terdapat kreativitas kerja yang terbit dari suasana yang sehat, menyuburkan jenis kejahatan lain dalam masyarakat, melemahnya semangat perangkat birokrasi dan mereka yang menjadi korban, dan sebagainya.
Begitu dalam dan luasnya pengaruh atau akibat yang muncul dari korupsi, sehingga dapat dikatakan bahwa korupsi seolah-olah merupakan penyakit menular yang sangat ganas dan tidak mungkin bisa disembuhkan lagi. Kelihatannya korupsi sudah menjalar kepada seluruh aspek kehidupan umat manusia dan menjangkiti seluruh lapisan masyarakat, dari pucuk pimpinan pemerintahan hingga anggota masyarakat kecil di pedesaan. Melihat begitu kompleksnya permasalahan korupsi ini, maka mau tidak mau harus segera ditemukan langkah-langkah konkrit yang jitu untuk mengatasinya.
Posting Komentar