BAB 8
KORUPSI DAN TANTANGAN
DEMOKRASI DI INDONESIA

A.     MASALAH  DAN TANTANGAN DEMOKRASI DI INDONESIA
1.      Masalah Demokrasi Di Indonesia
Rizal Sukma menyebutkan bahwa demokrasi telah menjadi identitas nasional Indonesia dalammempersatukan bangsa, dandemokrasi telah memberikan ruang bagi kita untuk mengekspresikan diri dalam menjaga kesatuan bangsa.
Dari perspektif Islam, Azyumardi Azra mengatakan bahwa tidaklah mudah untuk mengembangkan demokrasi di wilayah Muslim, meskipun sekitar 88,7 persen penduduk Indonesia adalah Muslim,akantetapi Indonesia bukanlah negara Islam. Pancasila sebagai landasan demokrasi Indonesia, telah memperkuat karakter bangsa dan memberikan kontribusi yang besar dalam pelaksanaan demokrasi.
Aleksius menyebutkan, bahwa Indonesia memiliki banyak tantangan dalam demokrasi. Para pemimpin mengelola negara dengan selera pribadi, bukan dengan konstitusi. Selain itu, ia juga menyebutkan bahwa negara gagal mengembangkan budaya taat hukum.  
Di tingkat masyarakat, orang Indonesia mudah terprovokasi dengan isu SARA. Hal ini menunjukkan rendahnya kepercayaan masyarakat, sementara elemen ini adalah salah satu elemen paling penting dalam demokrasi. Pada tingkat kelembagaan, partai politik dan parlemen tidak lagi menjadi pembela hukum, melainkan menjadi pelanggar aturan hukum. Selain itu, di tingkat kepemimpinan, pemimpin nasional tidak peduli tentang beberapa isu besar, seperti pelanggaran HAM, korupsi, dan radikalisme atas nama agama. Tidak ada pemimpin yang bisa menjadi teladan bagi orang-orang dalam menjalankan demokrasi. Indonesia memiliki penegakan hukum yang lemah.
2.      Tantangan Demokrasi Di Indonesia
Demokrasi di Indonesia tengah menghadapi tantangan terberatnya. Tidak seperti pada akhir 1990-an, ketika tantangan itu berasal dari kubu militer yang belum sepenuhnya rela kekuasaan politik dipegang sipil, tantangan yang ada sekarang justru berasal dari aktor utama demokrasi itu sendiri, yakni para politisi sipil.
Perilaku korup para politisi sungguh mengkhawatirkan. Kekuasaan mereka untuk ikut mengurusi anggaran telah disalahgunakan. Wewenang untuk menyetujui anggaran dimanfaatkan untuk mencari rente, mencari keuntungan bagi pribadi atau bagi kelompok, yang tidak ada hubungannya dengan kepentingan rakyat banyak.
Pernyataan mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas,  bahwa aktor utama praktik korupsi adalah para politisi, sebagai tantangan nyata yang sedang dihadapi demokrasi di Indonesia. ”Siapa sesungguhnya aktor korupsi di Indonsia, mereka adalah elite di parpol, baik di DPR pusat maupun daerah,” Tentu saja, elite parpol yang korup tidak sendirian dalam melakukan aksinya. Mereka memerlukan keterlibatan elite birokrasi dan elite bisnis agar praktik korupsi berjalan mulus. Politisi pun dipandang identik dengan kasus korupsi. Di mana ada korupsi, di situ pasti ada politisi yang terlibat.
Situasi tersebut sungguh berbahaya. Kepercayaan terhadap politisi dan partai politik menjadi anjlok. Demokrasi, yang bersendikan pada parpol, akhirnya akan ikut-ikutan kehilangan kepercayaan. Orang menjadi lelah berdemokrasi. Kerinduan untuk kembali pada rezim otoritarian pun muncul.
Orang menjadi lupa bahwa pada masa rezim otoritarian sebenarnya korupsi juga cukup banyak terjadi, tetapi bersifat lebih terpusat dan hampir tidak pernah diekspos oleh media massa. Bedil siap menghampiri kantor media yang berani menulis praktik korupsi penguasa. Pada masa itu memang tidak ada pers yang bebas. Pelanggaran hak asasi manusia, seperti penyiksaan hingga matinya perempuan aktivis buruh Marsinah, terjadi tanpa ada pertanyaan kritis dari parlemen.
3.      Demokrasi Korupsi di Lembaga Pemerintah
Kerinduan atau keinginan untuk kembali pada rezim otoritarian adalah gejala yang umum ditemui di negara-negara yang belum tuntas menegakkan demokrasi. Mereka rindu untuk kembali diperintah oleh pemimpin yang bertangan besi, pemimpin kuat yang tidak perlu berdebat dengan parlemen, pemimpin yang dapat memenuhi atau bertindak sebagai Ratu Adil.
Persoalannya bagi kita sekarang ini adalah, apakah demokrasi yang pada akhirnya telah memenangkan pertarungan mampu mendorong terciptanya kepercayaan rakyat atas pemimpinnya? Jawabannya tidak! Anti-demokrasi saat ini terus berlanjut, sering terrjalin dengan nasionalisme fanatik atau fundamentalisme agama. Selain itu, ketimpangan struktural yang mengakibatkan munculnya ketidakadilan dan kemiskinan merupakan tantangan demokrasi dewasa ini. Wujud dari tantangan demokrasi tersebut tak lain adalah para koruptor, dari mulai tingkatan terendah hingga koruptor tingkat tinggi. Celakanya, praktek korupsi di tanah air kita justru dimotori oleh ketiga bagian yang mendasari demokrasi itu sendiri, yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Gurita korupsi telah menjalar pada semua tingkatan di dalam kehidupan masyarakat kita dewasa ini. Sehingga setiap upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kwalitas kehidupan manusianya selalu mengalami jalan buntu. Disini, kita melihat bahwa demokrasi ideal atau pun demokrasi aktual yang berbicara tentang keseimbangan kekuasaan berubah menjadi demokrasi korupsi. Artinya, tidak ada batasan yang tegas tentang siapa mengawasi siapa, siapa mengawasi petugas, dan petugas mengawasi siapa? Kenyataannya, siapa memiliki kekuasaan paling besar maka mereka pula yang akan menguasasi jalur korupsi terbesar. Telah menjadi “credo” bagi masyarakat umum bahwa tidak ada pembangunan masyarakat yang bebas dari tindakan korupsi. Fenomena ini, yang pada awalnya berada di ruang lingkup kerja politik, akhirnya berkembang ke domain sosial dan budaya. Korupsi menjadi tantangan yang paling serius bagi kehidupan dan kelangsungan demokrasi kita saat ini. Keberadaan Indonesia di urutan ke tujuh negara terkorup di dunia (menurut lembaga Transparency Internasional) merupakan kenyataan yang sangat memalukan.
4.      Demokrasi Korupsi di Tingkat Elit Politik
Menguatnya isu-isu di seputar tindak pidana korupsi yang melibatkan banyak anggota legislatif menimbulkan dampak terhadap partisipasi politik masyarakat pada umumnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Isu korupsi secara cepat mempengaruhi tingkat apresiasi masyarakat terhadap aktivitas sosial-politik. Setidaknya ada 3 hal yang muncul dimasyarakat sebagai akibat dari berkembangnya isu korupsi tersebut. Pertama, hilangnya kepercayaan publik terhadap elit politik, Kedua, berkurangnya partisipasi publik terhadap persoalan-persoalan sosial-politik. Ketiga, terkikisnya semua aspek legitimasi yang dimiliki para elit politik. Sehingga Dewan Perwakilan Rakyat  tidak lagi dipandang sebagai lembaga representasi kepentingan masyarakat luas, tetapi berubah menjadi Dewan Penyamun/Perampok Rakyat Daerah.
Pentingnya kepercayaan publik inilah yang mungkin sering tidak disadari oleh pemain politik yang duduk di lembaga legislatif. Kita tidak melihat ada niat untuk menjaga kehormatan lembaga  dari mereka yang dijadikan tersangka. Karena apa pun hasil penyidikan akhir dari kasus dugaan korupsi secara moral mereka seharusnya mundur sementara dari kedudukannya di lembaga legislatif. Dengan mundurnya tersangka tersebut, maka kehormatan lembaga legislatif dan martabat partai yang diwakilinya dapat terjaga. Tetapi sekali lagi, itu adalah persoalan moral politik. Fenomena korupsi sering dianggap oleh sebagian besar elit politik kita sebagai bagian dari perjuangan politik. Padahal tindakan korupsi dan perjuangan politik adalah dua hal yang secara mendasar berbeda. Kebanyakan anggota legislatif  kita tidak bisa membedakan secara tegas antara resiko politik karena perjuangan pandangan dan resiko melakukan tindakan kriminal (korupsi), sehingga sering kita dengar seorang anggota legislatif yang diduga melakukan korupsi mengatakan, bahwa “apa pun hasil akhirnya, itu adalah resiko politik yang harus ditanggung.  Pandangan Norberto Bobbio, ahli politik Italia masa kini, yang mengatakan bahwa “esensi politik adalah perjuangan pandangan dan kebijakan yang bertentangan”. Yang dimaksud Norberto Bobbio tentu bukan perjuangan untuk memperkaya diri sendiri dengan cara korupsi, tetapi bagaimana agar sebuah kebijakan dapat terlaksana sesuai dengan prinsip-prinsip garis politik yang dimilikinya. Sehingga kita  jarang mendengar adanya perdebatan tentang arah dan tujuan pembangunan serta apa dan bagaimana langkah-langkah kebijakan yang akan diterapkan untuk mempercepat dan memperlancar proses pembangunan. Hal ini sepertinya tidak menjadi agenda kerja politik kebanyakan anggota legislatif  kita.
B.     TANTANGAN MENUJU PROSES DEMOKRATISASI INDONESIA
Deputi Koordinator  Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat {JPPR} Masykurudin Hafidz merumuskan tujuh tantangan proses demokratisasi Indonesia ke depan.
1.      Dalam hal korupsi pemilu yang menjadi tantangan terbesar adalah penerimaan dana illegal partai politik dan dana kampanye pemilu.
2.      Isu penegakan hukum pemilu adalah pengaturan dan regulasi pemilu yang tidak sinkron dan tidak terbarukan
3.      Dalam hal integritas penyelenggara pemilu, keterbukaan penyelenggara Pemilu terhadap data dan proses pelaksanaan tahapan serta dukungan partisipasi masyarakat  menjadi kunci atas keberhasilan pelaksanaan Pemilu 2014.
4.      Tantangan  isu konflik dan kekerasan adalah bentuk, aktor, korban, dan cara kekerasan dalam pemilu semakin meluas. Kekerasan tidak lagi berbentuk fisik tetapi juga non fisik.
5.      Proses Pemilu 2014 menghasilkan media yang terbelah antara yang pro pemerintah, oposisi dan yang independen serta partisipasi warga yang meningkat secara signifikan dalam isu demokrasi melalui teknologi internet.
6.      Isu partisipasi politik warga masih dipahami sebagai kehadiran dalan forum politik formal (misal memilih dalam pemilu). Ini terjadi akibat Orde Baru yang mewariskan sejumlah masalah partisipasi politik warga yang akut: krisis demokrasi perwakilan, depolitisasi warga (massa mengambang), cara-cara miliiteristik dalam membungkam suara warga, masih kuatnya nilai dan sikap yang antipluralime, dan menjadikan warga sebagai obyek untuk kepentingan elit (oligarki).
7.      Terkait keterbukaan informasi, yang menjadi tantangan adalah menyelenggarakan sistem pengelolaan dan pelayanan informasi sebagaimana yang diamanatkan oleh UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Empat tahun berlalu, pada penerapan undang-undang tersebut KPU belum merespon dengan membentuk aturan-aturan internal dalam mempersiapkan pelayanan informasi.
Berdasarkan ketujuh tantangan yang telah diuraikan di atas, Konferensi Nasional Masyarakat Sipil menyampaikan rekomendasi untuk penguatan dan peningkatan kualitas demokrasi sebagai berikut.
1.      Perlu membuat kodifikasi UU Pemilu yang pastinya diikuti dengan sinkronisasi dan harmonisasi seluruh regulasi penyelenggaraan pemilu.
2.      Mendukung pembatasan transaksi secara tunai dan menjadikan pengurus partai politik sebagai subjek yang bisa dipidana melalui korupsi atas dana ilegal atau tidak sehat tersebut.
3.      Dibutuhkan sistem rekruitmen yang menghasilkan petugas pemilu yang mempunyai pemahaman kepemiluan yang baik, mempunyai jiwa pelayanan, menjaga netralitas terutama ke peserta Pemilu dan pemerintah, mempunyai kemampuan administrasi yang baik, memahami secara cepat dan tepat teknis pelaksanaan pemilu serta terbuka terhadap masukan dari elemen masyarakat.
4.      Antisipasi terhadap potensi terjadinya kekerasan perlu dipikirkan terutama dengan akan dilaksanakannya Pilkada tahun depan.
5.      Untuk memperkuat demokrasi, media harus bersikap profesional, sedangkan warga terus bersikap kritis dan partisipatif sehingga keduanya efektif sebagai penyeimbang dan penekan lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif.
6.      Partisipasi politik warga membutuhkan kesepakatan perspektif yang pemaknaannya adalah menghadirkan dan merepresentasikan kepentingan warga, yang tidak disediakan oleh kekuatan politik formal (partai politik). Untuk itu pendidikan politik harus berubah, menjadi pendorong utama partisipasi politik yang menghadirkan dan merepresentasi kepentingan warga, serta tidak terbatas pada momen pemilu. Pendalaman partisipasi politik warga, membutuhkan peluang untuk menciptakan instrumen-instrumen partisipasi politik alternatif, misalnya dalam wujud serikat-serikat, komunitas-komunitas, dan forum-forum warga yang memperjuangkan kepentingan publik dan menuntut keadilan distribusi sumberdaya. Partisipasi politik harus selalu berbasis pada koneksitas yang nyata dengan warga/rakyat.
7.      KPU harus segera menyelenggarakan sistem pengelolaan dan pelayanan informasi sebagaimana yang diamanatkan oleh UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dengan mengesahkan PKPU mengenai pelayanan keterbukaan informasi publik dan membuat SOP Pelayanan Informasi Publik.
C.       KORUPSI PADA PEMILIHAN UMUM
Proses demokrasi untuk mencegah Korupsi pada partai-partai politik, yang telah melakukan pelanggaran dalam Pemilihan Umum 2004, dan  Pemilihan Umum 1999 yang lalu, melalui "politik uang" (money politics), namun tak satu pun diproses untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka. Sebagian besar elit partai-partai itu kini telah menikmati kursi DPR dan DPRD, dan sebagian ada yang menjadi pejabat pemerintah. Tapi mereka telah masuk dalam lingkungan politik di mana prosesnya lebih condong pada "politik dagang sapi" ketimbang upaya-upaya melembagakan demokrasi. Perilaku mereka tercermin dari tindakan sering bolos sidang sambil tetap menerima uang rapat, menikmati "hadiah" mesin cuci, uang kavling, uang perjalanan ke daerah, bahkan studi banding ke luar negeri. Dampaknya antara lain mereka gagal membentuk Pansus Bulog II serta lemahnya komitmen atas kasus Trisakti Semanggi, bahkan gagal mengungkap kasus praktek percaloan proyek daerah yang terjadi di lingkungan mereka sendiri. Hal yang sama juga terjadi bagi anggota-anggota DPRD di daerah. Dengan lingkungan politik seperti itu, pemerintah dan DPR maupun partai politik di pusat maupun di daerah, pada umumnya tak dapat menunjukkan komitmen yang kuat. Partai-partai gagal memenuhi komitmen kerja dalam memberantas korupsi demi pemulihan ekonomi untuk kepentingan menciptakan kembali iklim investasi yang kondusif serta meningkatkan kesejahteraan rakyat. Malah perhatian mereka lebih terfokus untuk memburu pengumpulan dana bagi kelanjutan jabatan-jabatan mereka pada pemilihan umum berikutnya. Demokrasi hanya sekadar politik wacana, bukan bergerak dalam pelaksanaan proses pelembagaannya. Pemerintah, dengan dana pembangunan dan APBN di tangannya, semestinya dituangkan secara ketat dan terukur dalam program pemulihan ekonomi. Selain itu, melalui sasaran yang tepat, dilakukan program peningkatan kesejahteraan rakyat yang terencana. Tapi dengan perilaku DPR dan DPRD maupun partai-partai politik, pengawasan atas jalannya program pemerintah acap gagal dikontrolnya. Korupsi, kebocoran-kebocoran dana pembangunan dan APBN, serta pungutan yang merajalela, telah menjadi penghalang bagi penciptaan iklim investasi yang kondusif. Harapan untuk meningkatkan daya saing ekspor perusahaan-perusahaan nasional, telah dihadang korupsi.
Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap Pembangunan Demokrasi di Indonesia antara lain :
1.      Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses formal.
2.      Korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidakseimbangan dalam pelayanan masyarakat.
3.      korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan bukan karena prestasi.
4.      korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.
5.      Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah yang pada akhirnya masyarakat biasa selalu jadi korban kebringsan korupsi dan hal tersebut sangat bertentangan dengan demokrasi yang ruhnya adalah transparansi dan kejujuran.
Kondisi merajalelanya korupsi itu membuat Indonesia menjadi tak menarik sebagai ajang investasi. Kepentingan dunia usaha yang telah memberikan sumbangan penting bagi penerimaan pajak, justru tak diperbaiki dengan komitmen dan kinerja pemerintah untuk memberantas korupsi dan pungutan liar. Terganggunya kepentingan dunia usaha ini membuat mereka mengancam untuk memboikot membayar pajak.
Jelaslah, korupsi memberikan kontribusi penting bagi pelanggengan tingkat kemiskinan. Dengan demikian, kritik terhadap pola kebijakan pemerintah yang tidak memihak kelompok miskin juga harus dialamatkan kepada kebijakan pemberantasan korupsi. Menanggulangi kemiskinan tanpa memberantas korupsi tidak mungkin terjadi. Maka dari itu kita butuh perjuangan kolektif yang dimulai dari elit masyarakat (pejabat), sampai masyarakat jelata untuk bersama melawan kekerasan (mental korup), yang berarti berjuang bagi terciptanya masyarakat yang adil, manusiawi, dan solider. Untuk itu struktur yang jelek dan korup harus dibongkar seluruhnya jangan tebang pilih dan berdasar pada pesanan saja, tapi proses tersebut tidak mudah, namun perjuangan ke arah sana harus jadi langkah prioritas seluruh elemen-elemen pada tingkat elit (pejabat) masyarakat. Khususnya yang paling mendasar adalah struktur yang menyangkut bidang pembangunan mental pejabat.
Dalam proses penerapan sistem demokratis, good governance sering mengilhami siapapun untuk mewujudkan penyelenggara negara yang memberikan ruang partisipasi bagi pihak diluar penyelenggara itu sendiri, sehingga ada pembagian peran dan kekuasaan yang seimbang antar negara dalam arti luas (termasuk peran partai politik), masyarakat sipil, dan mekanisme pasar. Adanya pembagian peran yang seimbang dan saling melengkapi antar ketiga unsur tersebut, bukan hanya memungkinkan terciptanya check and balance, peran bagi elite pejabat maupun masyarakat awam dalam mewujudkan kesejahteraan bagi seluruhnya.


1 Komentar

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama