BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
LATAR BELAKANG
Tindak
pidana korupsi merupakan salah satu jenis dari berbagai jenis tindak pidana.
pengertian korupsi, menurut arti katanya “korupsi” berasal dari Bahasa Latin Corruptio atau Corruptus yang artinya busuk, buruk, bejat, dapat disuap,
menyimpang dari kesucian, perkataan yang menghina atau memfitnah. Dalam
perkembangan selanjutnya kata “korupsi” dalam perbendaharaan Bahasa Indonesia
diartikan sebagai perbuatan curang dan dapat disuap.
Menurut Wantjik Saleh (1983:hal.16) berdasarkan wujud atau
sifat perbuatan pidananya, korupsi merupakan perbuatan-perbuatan yang melawan
hukum. Perbuatan-perbuatan ini bertentangan dengan atau menghambat akan
terlaksananya tata kehidupan masyarakat yang baik dan adil. Sedangkan menurut Undang-undang
Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-undang
Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mendefinisikan Tindak
Pidana Korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana luar biasa (Extra Ordinady Crime).
Oleh karenanya, dalam dinamika gerakan pemberantasan korupsi begitu banyak
berbagai perubahan dan amandemen regulasi guna mencapai misi dan visi
pemberantasan tindak pidana korupsi. Di satu sisi, tindak pidana korupsi
merupakan bagian dari tindak pidana pada umumnya yang oleh karena perbuatannya
mendapat sanksi hukum sebagaimana sanksi hukum
atas perbuatan kriminal yang dilakukan. Namun, dilain sisi, tindak
pidana korupsi bersifat pidana khusus yang membutuhkan penanganan khusus yang
professional serta sanksi yang tegas sesuai dengan definisi tindak pidana
korupsi itu sendiri.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 31
tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-undang Nomor
20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka sanksi yang dikenakan bagi pelaku
tindak pidana korupsi (Koruptor) berupa hukuman mati, hukuman penjara, denda,
serta pidana tambahan oleh karena sifat dan wujudnya sebagai Kejahatan luar
biasa (Extra
Ordinady Crime). Dalam pelaksanaannya, penerapan
sanksi tambahan yang mengatur tentang harta benda koruptor, pengembalian uang
hasil korupsi serta pembuktian terbalik diatur dalam undang-undang Tipikor dan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Oleh
karena itu, kami mengajar kita sekalian untuk membahas masalah Sanksi Pidana Atas Korupsi: Harta Benda Koruptor, Pembuktian Terbalik, Dan Pengembalian Uang
Hasil Korupsi”
1.2.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan
latar belakang diatas, maka rumusan masalah menjadi pedoman untuk memahami
topik bahasan ini, sebagai berikut:
1. Apa
yang dimaksudkan dengan sanksi pidana atas korupsi?
2. Bagaimana
sanksi pidana atas korupsi terkait harta benda koruptor?
3. Bagaimana
sistem pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi?
4. Bagaimana
sistem pengembalian uang hasil korupsi?
1.3. TUJUAN
Adapun tujuan
dari penulisan makalah ini, sebagai berikut:
1. Sebagai
pelaksanaan tugas mata kuliah Pendidikan Anti Korupsi;
2. Untuk
mengetahui dan memahami sanksi pidana atas korupsi;
3. Untuk
memahami sistem sanksi atas harta benda koruptor, pembuktian terbalik serta
sistem pengembalian uang hasil korupsi
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. SANKSI PIDANA ATAS
KORUPSI
Menurut Van
Hamel, arti dari pidana adalah: Suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang
telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas
nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang
pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu
peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh negara.
Mengenai pidana
yang dapat dijatuhkan, pengaturannya diatur jenisnya dalam Pasal 10 KUHP yang
terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan, pidana pokok terdiri dari pidana
mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda dan pidana tutupan,
sedangkan pidana tambahan terdiri dari pidana tambahan perampasan barang-barang
tertentu, pencabutan hak-hak tertentu dan pengumuman keputusan hakim.
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 jo UU No. 31 Tahun 1999
yang menyebutkan bahwa:
- Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
- Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Melihat konteks
kasus-kasus korupsi yang terjadi di Indonesia, korupsi kelas kakap, merupakan
korupsi serius yang merugikan negara dan masyarakat banyak. Korupsi yang
dimaksud ini juga tidak lepas dari masalah kekuasaan. Para pejabat publik telah
dengan sengaja menyalahgunakan wewenangnya untuk melakukan tindakan melanggar
hukum untuk kepentingan pribadi. Seorang pejabat publik yang memegang
kekuasaan secara otomatis memiliki daya untuk mempengaruhi kebijakan yang
akan dikeluarkan. Sesuai dengan sifat dari kekuasan politik itu, yaitu
mengendalikan tingkah laku masyarakat yang secara koersif (memaksa) agar supaya
masyarakat mau untuk tunduk kepada negara. Dalam hal ini, setiap kebijaksanaan
yang diberlakukan sebenarnya merupakan sebuah ketentuan atau aturan yang sesuai
dengan tujuan-tujuan para sang penguasa sendiri. Dari sini lah peluang untuk
terjadinya tindakan korupsi besar sekali.
Dengan demikian
dampak dari korupsi korupsi mempersulit demokrasi
dan tata pemerintahan yang baik, dengan cara menghancurkan proses formal.
Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan
perwakilan di pembentukan kebijaksanaan, korupsi di sistem pengadilan
menghentikan ketertiban hukum, dan korupsi di pemerintahan publik menghasilkan
ketidak-seimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi mengkikis
kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan
sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan bukan karena prestasi.
Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai
demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.
Oleh sebab itu
korupsi masih banyak terjadi dikarenakan memiliki banyak celah antara lain
korporatisme. Korporatisme, dalam khasanah literature ekonomi-politik, sering
dibandingkan dengan praktek politik di mana pemerintah atau penguasa berinteraksi
secara tertutup (idak diketahui oleh masyarakat) dengan sektor swasta besar
(pengusaha kelas kakap). Dalam ketertutupan tersebut, transaksi ekonomi mapun
politik terjadi hanya untuk kepentingan segelintir kelompok kepentingan (interest
group) yang terlibat di dalamnya. Biasanya transaksi politik maupun eknomi
yang seperti ini terjadi secara informal dalam tatanan hukum yang kabur atau
tatanan hukum yang memihak kepentingan kelompok kecil tersebut. Adanya
persengkongkolan seperti ini membuka peluang besar bagi hukum untuk
dipermainkan (mafia hukum) sehingga hukum seorah-olah telah dipegang oleh
tangan-tangan tertentu.
Upaya
pemberantasan korupsi telah mulai direalisasikan dalam kerangka yuridis pada
masa pemerintahan Habibie dengan keluarnya UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menggantikan UU No. 3 Tahun 1971
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Alasan pergantian Undang-Undang Korupsi
dari UU No. 3 Tahun 1971 menjadi UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dapat dilihat dalam diktum UU No. 31 Tahun 1999.
Maka dari itu pemerintah sudah membuat undang-undang pidana tentang
korupsi, dan undang-undang tentang tindak pidana korupsi sudah 4 (empat) kali
mengalami perubahan. Adapun peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
korupsi, yakni :
- Undang-undang nomor 24 Tahun 1960 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,
- Undang-undang nomor 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,
- Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,
- Undang-undang nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi.
2.2.
HARTA BENDA KORUPTOR
Lingkup
pengertian aset diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) pasal
499 yang dinamakan kebendaan, yaitu tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak, yang
dapat dikuasai oleh hak milik. Kebendaan menurut bentuknya, dibedakan menjadi
benda bertubuh dan tak bertubuh. Sedangkan menurut sifatnya, benda dibedakan
menjadi benda bergerak yaitu yang dihabiskan dan tidak dapat dihabiskan, serta
benda tidak bergerak.
Hal ini sesuai dengan pengertian harta kekayaan yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang, yaitu "Harta kekayaan adalah semua benda
bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak
berwujud, yang diperoleh baik secara langsung maupun tidak langsung."
Sedangkan menurut UU Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah
dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(TPK), dalam pasal 18 ayat (1) menyatakan bahwa perampasan dilakukan
terhadap orang yang bersalah yang diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya
atas barang-barang yang telah disita. Dan sebagaimana diatur dalam pasal 18 UU
No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 dikatakan
bahwa perampasan sebagai salah satu bentuk pidana tambahan.
Dalam RUU Perampasan Aset Tindak Pidana, aset tindak pidana
adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik berwujud maupun
tidak berwujud dan mempunyai nilai ekonomis, yang diperoleh atau diduga berasal
dari tindak pidana. Oleh karena itu, jika kita merujuk pada KUHPer, UU No. 8
tahun 2010, dan UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 tahun
2001, maka terdapat beberapa istilah yang digunakan yaitu benda, barang, aset
tindak pidana, dan harta kekayaan. Untuk penyederhanaan, idealnya merujuk ke pasal
39 KUHAP tentang kategori benda yang dapat disita, yang mencakup seluruh atau
sebagian yang diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil tindak
pidana atau yang biasa disebut sebagai aset.
Penyitaan asset merupakan serangkaian
tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mengambil alih dan menyimpan di
bawah penguasaannya, baik berupa benda bergerak maupun tidak bergerak, berwujud
maupun tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan
dan peradilan. Penyitaan terhadap suatu benda dapat dilakukan jika benda
tersebut memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 39 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP), yaitu :
a)
Yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak
pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
b)
Yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan
tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
c)
Yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak
pidana;
d)
Yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak
pidana;
e)
Yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang
dilakukan.
Penyitaan aset merupakan langkah antisipatif yang bertujuan
untuk menyelamatkan atau mencegah larinya harta kekayaan. Harta kekayaan inilah
yang kelak diputuskan oleh pengadilan, apakah harus diambil sebagai upaya untuk
pengembalian kerugian keuangan negara atau sebagai pidana tambahan berupa
merampas hasil kejahatan.
Proses penyitaan adalah suatu upaya paksa yang menjadi
bagian dari tahap penyidikan, sedangkan proses perampasan terjadi setelah
adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Barang sitaan berupa uang maupun tabungan dalam rekening
(diawali dengan pemblokiran) akan ditampung dalam rekening penampungan yang
dimiliki oleh KPK. Sedangkan jika dalam bentuk non- uang (barang) disimpan di
Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara, atau disingkat Rupbasan. Penyitaan juga
berfungsi untuk mengamankan barang bergerak karena mudah berpindah tempat dan
berpindah tangan.
2.3. SISTEM
PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
Tindak
pidana korupsi yang selama ini terjadi secara sistematik dan meluas, pemberantasannya
harus dilakukan dengan cara penerapan “sistem pembuktian terbalik” yakni
pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa. Terdakwa dianggap terbukti
melakukan tindak pidana korupsi, kecuali mampu dibuktikan sebaliknya.
Dalam UU No. 31 Tahun 1999 memang telah diatur mengenai
pembuktian terbalik, tetapi ketentuan tersebut bersifat terbatas, artinya terdakwa
berhak untuk membuktikan. Artinya, terdakwa harus membuktikan dirinya tidak bersalah.
Nantinya orang yang menuduh orang lain melakukan korupsi harus dapat
menunjukkan buktinya, sebaliknya, pelaku yang dituduh juga harus dapat
membuktikan bahwa tuduhan itu tidak benar. Jika ia tidak berhasil membuktikan
maka berarti ia terbukti melakukan korupsi.
Sebagai contoh, Jika Pegawai negeri atau Penyelenggara
Negara mempunyai kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber
pendapatannya, maka wajib membuktikan sahnya kekayaan yang diperoleh, jika
tidak maka data tentang kekayaan itu digunakan untuk memperkuat alat bukti yang
sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi;Sebagai
konsekuensi dari sistem pembuktian terbalik, kepada terdakwa diberikan hak
untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi sebagai
keseimbangan antara pelanggaran asas praduga tak bersalah dengan perlindungan
hukum yang wajib diberikan kepada setiap orang.
Meskipun penerapan sistem pembuktian terbalik bertentangan
dengan asas praduga tak bersalah yang telah diatur dalam KUHAP, dalam hal ini
berlaku asas lex specialist derogat lex genealis. Selain itu hal ini merupakan
salah satu sarana yang dapat ditempuh untuk memberantas korupsi yang sudah
mengakar di Indonesia. Hal ini sesuai dengan tujuan hukum menurut Jeremy
Bentham dalam bukunya Introduction to the Morals and Legislation, yaitu bahwa
hukum bertujuan untuk mewujudkan semata-mata berfaedah bagi orang. Karena apa
yang berfaedah bagi seseorang mungkin saja merugikan orang lain, maka tujuan
hukum adalah menjamin kebahagiaan sebanyak-banyaknya bagi orang
sebanyak-banyaknya. (C.S.T Kansil, 1989 : hal 44)
2.4. PENGEMBALIAN
UANG HASIL KORUPSI
Relevansi
antara pengembalian uang hasil korupsi terhadap sanksi pidana yang dijatuhkan
(terhadap pelaku) dijelaskan dalam pasal
4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
serta penjelasannya. Selanjutnya, pasal 4 Undang-Undang nomor 31 tahun 1999
dinyatakan antara lain bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau
perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana korupsi
sebagaimana dimaksud pasal 2 dan pasal 3 UU tersebut. Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara hanya merupakan salah satu faktor yang
meringankan.
Dalam hal pelaku tindak pidana korupsi, memenuhi unsur-unsur pasal
dimaksud, maka pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara, tidak
menghapuskan pidana terhadap pelaku tindak pidana tersebut. Undang-undang ini
juga diatur perihal korporasi sebagai subyek tindak pidana korupsi yang dapat
dikenakan pidana, hal ini tidak diatur dalam undang-undang tindak pidana
korupsi sebelumnya yaitu undang-undang nomor 3 Tahun 1971. Selain itu
undang-undang ini memuat juga pidana penjara bagi pelaku tindak pidana korupsi
yang tidak membayar pidana tambahan berupa uang pengganti kerugian negara
(sesuai dengan Pasal 18).
Merujuk pada pasal 2
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 serta penjelasannya, antara lain
diketahui bahwa unsur dapat merugikan negara dalam tindak pidana korupsi
merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan
dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya
akibat. Dengan demikian, suatu perbuatan yang berpotensi merugikan keuangan
negara sudah dapat dikategorikan sebagai korupsi.
Pembayaran uang pengganti adalah upaya optimalisasi
pengembalian kerugian keuangan negara. Pada follow the suspect, pelaku
hanya dijatuhi pidana pokok, seiring dengan perkembangan kasus TPK, digunakan
metode follow the money and follow the asset, untuk mengejar seluruh
aset yang terkait dengan kasus TPK.
Dalam putusan pengadilan, kita mengenal 2 (dua) jenis
pidana, yaitu pidana pokok yang berupa kurungan dan/atau denda, juga pidana
tambahan, yakni pembayaran uang pengganti. Uang pengganti merupakan upaya yang
sangat penting dalam mengembalikan kerugian Negara yang ditimbulkan dari tindak
pidana korupsi tersebut.
Penyelesaian tunggakan uang pengganti dapat dilakukan dengan
penyitaan dan pelelangan harta benda terpidana atau melalui tuntutan subsider
pidana penjara, atau hukuman badan seperti yang diatur dalam dalam Pasal 18
ayat (3) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, yang menegaskan bahwa
"Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk
membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka
dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimal
dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini dan
lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan".
Dalam proses pembayaran uang pengganti, peran dari penyitaan
aset sangat penting, yaitu untuk mengunci harta kekayaan pelaku agar tidak
dipindahtangankan sampai dengan putusan inkracht. Melalui pidana tambahan ini
diharapkan mampu memberikan deterent effect secara konkrit, karena tidak
akan ada lagi terpidana yang masih dapat berfoya-foya menggunakan hasil
korupsinya di dalam penjara.
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Masalah korupsi
memang merupakan masalah yang besar dan menarik sebagai persoalan hukum yang
menyangkut jenis kejahatan yang rumit penanggulangannya. Salah satu penyebab
sulitnya pemberantasan korupsi adalah sulitnya pembuktian, karena para pelaku
tindak pidana ini melakukan kejahatannya dengan sangat rapi. Untuk mengusut
tuntas persoalan tindak pidana korupsi maka dibutuhkan sistem perangkat hukum
yang benar-benar berguna dalam pemberantasan tindakan korupsi, baik itu berupa
hukuman badan, penyitaan aset harta benda koruptor, maupun melakukan pembuktian
terbalik dalam proses peradilannya.
Dilain sisi, salah
satu unsur mendasar dalam tindak pidana korupsi ialah adanya kerugian keuangan
negara. Konsekuensinya, pemberantasan korupsi tidak semata-mata bertujuan agar
koruptor dijatuhi pidana penjara (detterence effect), tetapi harus juga dapat
mengembalikan kerugian negara yang telah dikorupsi.
3.2. USUL DAN SARAN
Kelompok pemakalah mengakui
berbagai kekurangan dan kelemahan isi dalam makalah ini. Oleh karena itu, dari
hati yang paling dalam kami mengharapkan usul dan saran kita sekalian guna
penyempurnaan makalah dan kebenaran pengetahuan terkait Sanksi Pidana Atas Korupsi; Harta Benda Koruptor,
Pembuktian Terbalik, Dan Pengembalian Uang Hasil Korupsi. Atas perhatian
dan kerja sama kita sekalian, kami pemakalah menghaturkan limpah terima kasih.
DAFTAR
PUSTAKA
Djaja,
Firmansjah. 2010. Mendesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Jakarta:
Sinar Grafika.
Hartanti,
Evi. 2005. Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika.
Hamzah, Andi, Dr, S.H., Hukum Acara
Pidana Indonesia, Jakarta : CV Sapta Artha Jaya, 1996
Saleh, K. Wantjik, S.H., Tindak
Pidana Korupsi dan Suap, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1983
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi
Ditinjau Dari Hukum Pidana, Jakarta, Pusat Studi Hukum Pidana
Usakti, 2002, hlm. 1-2.
H. Prayitno Iman Santosa, Pertanggungjawaban Tindak
Pidana Korupsi, Bandung, Alumni, 2015, hlm. 62.
Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU RI No. 31 Tahun 1999 jo. UU RI 20 Tahun
2001)
Undang-undang
Nomor 30 tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
SUMBER FACEBOOK
Posting Komentar