BAB 9
OTONOMI DAERAH DAN
ANCAMAN KORUPSI

A.          PENGERTIAN OTONOMI DAERAH
Otonomi daerah secara sederhana dapat diartikan sebagai hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri oleh satuan organisasi pemerintah di daerah. Otonomi daerahdiberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dengan demikian berdasarkan prinsip otonomi tersebut, maka ada keharusan dari pemerintah pusat untuk menyerahkan sebagaian hak dan kewenangan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri tanpa campur tangan atau intervensi dari pihak lain termasuk pemerintah pusat. Otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah atas inisiatif atau prakarsa sendiri tanpa instruksi pemerintah pusat.  
Otonomi daerah adalah perwujudan pendelegasian wewenang dan tanggung jawab serta mempunyai hubungan erat dengan desentralisasi. Mahfud MDmengatakan bahwa desentralisasi merupakan penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus daerah mulai dari kebijakan, perencanaan, sampai pada implementasi dan pembiayaan dalam rangka demokrasi. Otonomi adalah adalah wewenang yang dimiliki daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri dalam rangka desentralisasi.
Secara klasik ada 4 bentuk pokok dari desentralisasi sebagai berikut (Ratnawati, dalam Karim. 2003).
1.      Dekonsentrasi, adalah pengalihan beberapa wewenang atau tanggung jawab administrasi di dalam (internal) suatu kementrian atau jawatan. Di sini tidak ada transfer kewenangan yang nyata. Bawahan menjalankan kewenangan atas nama atasannya dan bertanggung jawab kepada atasannya.
2.      Delegasi, adalah pelimpahan tanggung jawab fungsi-fungsi tertentu kepada organisasi-organisasi di luar struktur birokrasi pemerintah dan dikontrol secara tidak langsung oleh pemerintah pusat.
3.      Devolusi, adalah pembentukan dan pemberdayaan unit-unit pemerintahan di tingkat lokal oleh pemerintah pusat dengan kontrol pusat seminimal mungkin dan terbatas pada bidang-bidang tertentu saja
4.      Privatisasi/ debirokratisasi, adalah pelepasan semua tanggung jawab fungsi-fungsi kepada organisasi-organisasi pemerintah atau perusahaan-perusahaan swasta.
Secara politis devolusi dianggap sebagai desentralisasi politik karena wewenang yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada daerah adalah wewenang untuk mengambil keputusan-keputusan politik. Selain itu, juga disebut democratic decentralization karena terjadinya penyerahan wewenang/ kekuasaan kepada lembaga perwakilan rakyat daerah yang dipilih.
Selain itu, ternyata tidak semua bentuk desentralisasi sejalan dengan proses demokratisasi. Dalam sistem yang non-demokratispun, desentralisasi tetap bisa jalan. Tidak dapat dipungkiri bahwa dengan desentralisasi dapat mendekatkan penyedia layanan publik (negara) pada konsumen layanan publik  (masyarakat). Disamping itu, desentralisasi juga  dapat menimbulkan konflik negara dengan masyarakat di tingkat lokal menguat setelah otonomi daerah berjalan (Karim, 2003).
B.           KELEBIHAN DAN KELEMAHAN OTONOMI DAERAH
1.      Kelebihan Otonomi Daerah
Kelebihan otonomi daerah adalah bahwa dengan otonomi daerah  maka pemerintah daerah akan mendapatkan kesempatan untuk menampilkan identitas local yang ada di masyarakat. Berkurangnya wewenang dan kendali pemerintah pusat mendapatkan respon tinggi dari pemerintah daerah dalam menghadapi masalah yang berada di daerahnya sendiri. Bahkan dana yang diperoleh lebih banyak dari pada yang didapatkan melalui jalur birokrasi dari pemerintah pusat. Dana tersebut memungkinkan pemerintah lokal mendorong pembangunan daerah serta membangun program promosi kebudayaan dan juga pariwisata
Dengan melakukan otonomi daerah maka kebijakan-kebijakan pemerintah akan lebih tepat sasaran, hal tersebut dikarenakan pemerintah daerah cenderung lebih mengerti keadaan dan situasi daerahnya, serta potensi-potensi yang ada di daerahnya dari pada pemerintah pusat. Contoh di Maluku dan Papua program beras miskin yang dicanangkan pemerintah pusat tidak begitu efektif, hal tersebut karena sebagian penduduk disana tidak bisa mengkonsumsi beras, mereka biasa menkonsumsi sagu, maka pemeritah disana hanya mempergunakan dana beras miskin tersebut untuk membeli sayur, umbi, dan makanan yang biasa dikonsumsi masyarakat. Selain itu, dengan system otonomi daerah pemerintah akan lebih cepat mengambil kebijakan-kebijakan yang dianggap perlu saat itu, tanpa harus melewati prosedur di tingkat pusat.
2.      Kelemahan Otonomi Daerah
Kelemahan dari otonomi daerah adalah adanya kesempatan bagi oknum-oknum di pemerintah daerah untuk melakukan tindakan yang dapat merugikan Negara dan rakyat seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. Selain itu terkadang ada kebijakan-kebijakan daerah yang tidak sesuai dengan konstitusi Negara yang dapat menimbulkan pertentangan antar daerah satu dengan daerah tetangganya. Hal tersebut dikarenakan dengan system otonomi daerah maka pemerintah pusat akan lebih susah mengawasi jalannya pemerintahan di daerah, selain itu karena memang dengan sistem.otonomi daerah membuat peranan pemeritah pusat tidak begitu berarti.
Otonomi daerah juga menimbulkan persaingan antar daerah yang terkadang dapat memicu perpecahan. Contohnya jika suatu daerah sedang mengadakan promosi pariwisata, maka daerah lain akan ikut melakukan hal yang sama seakan timbul persaiangan binis antar daearah. Selain itu otonomi daerah membuat kesenjangan ekonomi yang terlampau jauh antar daerah. Daerah yang kaya akan semakin gencar melakukan pembangunan sedangkan daerah yang pendapatannya kurang akan tetap begitu-begitu saja tanpa ada pembangunan. Hal ini sudah sangat menghawatirkan karena  sudah melanggar pancasila sila ke-lima, yaitu ‘’Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia’’.
C.          OTONOMI DAERAH DAN POTENSI KORUPSI
Banyak orang mengatakan otonomi daerah di Indonesia cukup baik secara konsepnya namun tidak dalam prakteknya. Otonomi daerah yang seharusnya mempermudah berkembangnya suatu daerah, disalahartikan sebagai upaya mempermudah korupsi di tiap-tiap lini yang ada dalam struktural pemerintahan. Otonomi yang diberikan kepada daerah, pada dasarnya berhubungan dengan semangat demokratisasi, dan berkaitan dengan usaha optimalisasi pemberian pelayanan kepada masyarakat. Melalui otonomi daerah masyarakat tidak hanya memiliki peluang yang lebih besar untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, tetapi juga memiliki akses yang lebih luas untuk ikut mengawasi jalannya pemerintahan dan pembangunan. Dengan demikian, otonomi daerah dapat berpengaruh positif terhadap terbangunnya pemerintah yang bersih dan berwibawa.
Namun harus disadari adanya realitas bahwa otonomi daerah juga dapat diikuti dengan berpindahnya tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme dari pusat ke daerah. Sebagai bentuk pemencaran kekuasaan. Melalui otonomi diharapkan tidak terjadinya penumpukan kekuasaan, yang secara teoritis cenderung mendorong terjadinya korupsi.
Otonomi daerah dan desentralisasi kerap disebut sebagai desentralisasi korupsi akibat berpindahnya penyelewengan kekuasaan dari pusat ke daerah (Karim, 2003). Pelaksanaan otonomi daerah ditenggarai membawa problem tersendiri bagi terjadinya praktek korupsi di daerah. Di berbagai daerah muncul kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara negara di daerah. Kasus-kasus tersebut dapat berupa penyimpangan administrasi (mal administration), penggelembungan anggaran (mark up) oleh ekskutif maupun legislatif, suap dan money politic (Kurniawan, dkk., 2003)
D.          BENTUK-BENTUK KORUPSI DI DAERAH
Data yang ada menunjukkan, tren pemberantasan korupsi pada 2013 dan 2014 setidaknya 95 persen kasus berlokasi di kabupaten, kota, dan provinsi. Kasus korupsi di daerah umumnya memiliki banyak kesamaan dari sisi obyek dan modus, pelaku, serta proses.Beberapahaldiantaranyaialah :
1.      Obyek dan Modus Korupsi.
Bagi daerah yang memiliki banyak sumber daya alam sasarannya berada di sektor pendapatan. Modus korupsinya dengan obral perizinan, setoran liar, dan mark down pendapatan daerah. Bagi daerah-daerah yang miskin sumber daya alam, konsentrasi korupsi ada pada sisi belanja. Kasus yang paling banyak terungkap adalah proyek-proyek pengadaan, seperti pembangunan infrastruktur, pembelian barang dan jasa, serta program bantuan kemasyarakatan.
2.      Pelaku Korupsi.
Didominasi oleh pegawai Satuan Kerja Perangkat Daerah/Dinas (SKPD), anggota DPRD, dan Kepala Daerah. Sebagian besar kasus bahkan melibatkan ketiganya sekaligus. Mereka membentuk semacam jamaah korupsi di daerah. Pihak yang mengawasi dan diawasi justru bersatu padu membobol anggaran daerah. Apalagi dari sisi eksternal, kondisi di sebagian besar daerah, pengawasan dari masyarakat masih sangat minim.
3.      Proses Korupsi.
Selalu diawali oleh korupsi politik, korupsi yang dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuasaan secara politik di daerah, seperti kepala daerah dan anggota DPRD. Biasanya dilakukan pada saat perencanaan anggaran dengan cara menitip atau memaksa berbagai usulan program atau proyek masuk dalam RAPBD. Mulai dari proyek pengadaan barang dan jasa hingga jatah program bantuan sosial dan hibah.
Korupsi politik akan dilanjutkan oleh korupsi birokrasi. Hasil kompromi antara kepaladaerah dan DPRD akan dieksekusi birokrasi masing-masing SKPD atau badan perencanaan pembangunan daerah (Bappeda). Para abdi negara ini yang bertugas secara teknis untuk memasukkan daftar kegiatan dan proyek titipan ketika APBD dirancang.
Dalam implementasi anggaran, birokrasi di SKPD berperan mengawal dan memuluskan kegiatan dan proyek yang telah dipesan oleh atasan. Caranya dengan memanipulasi proses tender, merekayasa spesifikasi barang, dan bikin kegiatan fiktif.
Birokrasi merupakan eksekutor korupsi karena mereka yang bertugas secara langsung mengimplementasikan anggaran. Bagi sebagian besar birokrasi, perintah atasan sekalipun bermasalah, adalah kewajiban yang tidak boleh diabaikan. Walau begitu tak tertutup kemungkinan birokrasi di SKPD berinisiatif sendiri mengkorupsi APBD.
Dilihat dari pola dan modus korupsi di daearah tersebut, tampak bahwa korupsi di daerah dapat dilakukan oleh hampir semua pihak. DPRD yang menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan juga dapat menjadi aktor korupsi. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Sumodihardjo, 2006 bahwa praktek korupsi yang sebelumnya hanya terjadi di ranah birokrasi dan perbankan, kini merambah masuk ke lingkungan legislatif.
Sudah banyak pendekatan untuk menekan korupsi di daerah. Dari sisi regulasi, pemerintah mengeluarkan instruksi presiden mengenai aksi pencegahan dan pemberantasan korupsi, mempromosikan berbagai inovasi mulai dari e-budgeting, e-procurement hingga mendorong penyederhanaan kelembagaan dan birokrasi pelayanan publik, seperti program pelayanan satu atap. Berbagai pendekatan tersebut ternyata tak terlalu efektif, juga tak bisa dikatakan gagal dalam mengurangi korupsi di daerah. Sebagian besar hanya menyentuh aspek teknis. Padahal, hulu masalah korupsi di daerah berkaitan aspek politis, terutama komitmen dan keseriusan kepala daerah dan anggota DPRD untuk tidak melakukan korupsi.
Prasyarat utama untuk menghilangkan atau setidaknya mengurangi korupsi di daerah adalah :
a.       Adanya pemimpin yang tidak hanya bersih, tetapi juga memiliki keberanian dan komitmen kuat untuk melawan korupsi.
b.      Dibutuhkan kepala daerah "juara". Salah satunya yang sering dijadikan rujukan saat ini adalah Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Basuki tidak hanya keras terhadap anak buah yang menyimpangkan kewenangan, tetapi juga berani menolak permintaan "jatah anggaran" dari DPRD.
c.       Para pemimpin yang memiliki komitmen anti korupsi tidak akan menjadikan birokrasinya sebagai operator korupsi. Sebaliknya mereka akan menjaga dan mengawasi anak buahnya. Selain itu, tanpa dipaksa pun mereka akan menggunakan berbagai perangkat, seperti e-budgeting, e-procurement, dan pelayanan satu atap untuk mengurangi korupsi di daerahnya.
E.           OTONOMI DAERAH DAN PILKADA LANGSUNG
Salah satu momentum penting untuk mendorong munculnya kepala daerah "juara" adalah pemilihan kepala daerah langsung yang akan diselenggarakan secara serentak pada akhir tahun nanti. Sejatinya pilkada adalah alat warga untuk menghukum kepala daerah korup dan mempromosikan kandidat yang lebih berintegritas. Pilkada merupakan momentum penting untuk melawan korupsi di daerah.
Terpilihnya kepala daerah "juara" menjadi modal penting untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat daerah, seperti yang ingin diwujudkan dalam kebijakan otonomi daerah dan pilkada langsung. Pilkada merupakan kunci keberhasilan penerapan otonomi daerah. Setidaknya ada tiga pihak yang bisa berperan besar dalam menjaga pilkada agar melahirkan kepala daerah yang bersih, berkualitas, berani, dan pro pemberantasan korupsi, yaitu partai politik, pemilih, dan penyelenggara pemilihan. Mereka yang akan menentukan korupsi di daerah makin marak atau mulai berkurang.
Partai politik dapat berperan memilih kandidat terbaik. Calon kepala daerah yang mereka usung berasal dari hasil seleksi ketat sehingga tidak menyulitkan pemilih untuk menentukan pilihan. Kekhawatiran munculnya dinasti yang menjadi salah satu penyebab maraknya korupsi bisa dicegah oleh partai dengan melakukan seleksi yang benar.
Peran pemilih,  memilih kandidat terbaik yang diusung partai atau melalui jalur perseorangan. Pertimbangan rasional yang dijadikan dasar membuat pilihan, seperti rekam jejak, visi dan misi, serta program yang usung kandidat. Mereka tidak menukar suara dengan uang atau barang. Sementara penyelenggara berperan dengan menjaga agar proses pemilihan berlangsung jujur dan adil. Mereka tidak memberi ruang bagi kandidat untuk melakukan kecurangan dan korupsi. Apalagi terlibat dalam kecurangan, seperti memanipulasi hasil perhitungan suara.
Memang bukan hal mudah membuat petinggi partai, pemilih, dan penyelenggara pada tingkat lokal untuk bersikap dan bertindak ideal. Karena itu, harus ada pihak yang memulai untuk melakukan perubahan. Perubahan itu bisa dari para ketua umum partai yang benar-benar mengawal proses penyaringan kandidat kepala daerah. Pemerintah  memperbaiki dalam hal aturan main pilkada, dan masyarakat sipil dengan melakukan pemantauan pelaksanaan pemilihan.
Beberapa kelebihan dalam penyelenggaraan pilkada langsung antara lain sebagai berikut :
1.      Pilkada langsung merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat karena pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, bahkan kepala desa selama ini telah dilakukan secara langsung.
2.      Pilkada langsung merupakan perwujudan konstitusi dan UUD 1945. Seperti telah diamanatkan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, Gubernur, Bupati dan Wali Kota, masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Hal ini telah diatur dalam UU No 32 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
3.      Pilkada langsung sebagai sarana pembelajaran demokrasi (politik) bagi rakyat .Ia menjadi media pembelajaran praktik berdemokrasi bagi rakyat yang diharapkan dapat membentuk kesadaran kolektif segenap unsur bangsa tentang pentingnya memilih pemimpin yang benar sesuai nuraninya.
4.      Pilkada langsung sebagai sarana untuk memperkuat otonomi daerah. Keberhasilan otonomi daerah salah satunya juga ditentukan oleh pemimpin lokal. Semakin baik pemimpin lokal yang dihasilkan dalam pilkada langsung 2015, maka komitmen pemimpin lokal dalam mewujudkan tujuan otonomi daerah, antara lain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat agar dapat diwujudkan.
5.      Pilkada langsung merupakan sarana penting bagi proses kaderisasi kepemimpinan nasional. Disadari atau tidak, stock kepemimpinan nasional amat terbatas. Dari jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta, jumlah pemimpin nasional yang kita miliki hanya beberapa. Mereka sebagian besar para pemimpin partai politik besar yang memenangi Pemilu 2004. Karena itu, harapan akan lahirnya pemimpin nasional justru dari pilkada langsung ini.
Sedangkan  kelemahan  pilkada langsung diantaranyasangatbesarnya dana yang dibutuhkan, membuka kemungkinan konflik elite dan massa, aktivitas rakyat terganggu. Dalam pelaksanaan pilkada di lapangan banyak sekali ditemukan penyelewengan penyelewengan. Kecurangan ini dilakukan oleh para bakal calon seperti :
1.      Money politik
Sepertinya money politik ini selalu saja menyertai dalam setiap pelaksanaan pilkada. Dengan memanfaatkan masalah ekonomi masyarakat yang cenderung masih rendah, maka dengan mudah mereka dapat diperalat dengan mudah. Contoh yang nyata saja yaitu di lingkungan desa Karangwetan, Tegaltirto, Berbah, Sleman, juga terjadi hal tersebut. Yaitu salah satu dari kader bakal calon membagi bagikan uang kapada masyarakat dengan syarat harus memilih bakal calon tertentu. Tapi memang dengan uang dapat membeli segalanya. Dengan masih rendahnya tingkat pendidikan seseorang maka dengan mudah orang itu dapat diperalat dan diatur dengan mudah hanya karena uang.Jadi sangat rasional sekali jika untuk menjadi calon kepala daerah harus mempunyai uang yang banyak. Karena untuk biaya ini, biaya itu.
2.      Intimidasi
Intimidasi ini juga sangat bahaya. Sebagai contoh yaitu pegawai pemerintah melakukan intimidasi terhadap warga agar mencoblos salah satu calon. Hal ini sangat menyeleweng dari aturan pelaksanaan pemilu.
3.      Pendahuluan start kampanye
Tindakan ini paling sering terjadi. Padahal sudah sangat jelas aturan-aturan yang berlaku dalam pemilu tersebut. Berbagai cara dilakukan seperti pemasangan baliho, spanduk, selebaran. Sering juga untuk bakal calon yang merupakan kepala daerah saat itu melakukan kunjungan keberbagai daerah. Kunjungan ini intensitasnya sangat tinggi ketika mendekati pemilu. Ini sangat berlawanan yaitu ketika sedang memimpin dulu. Selain itu media TV lokal sering digunakan sebagi media kampanye. Bakal calon menyampaikan visi misinya dalam acara tersebut padahal jadwal pelaksanaan kampanye belum dimulai.
4.      Kampanye negatif
Kampanye negatif ini dapat timbul karena kurangnya sosialisasi bakal calon kepada masyarakat. Hal ini dikarenakan sebagian masyarakat masih kurang terhadap pentingnya informasi. Jadi mereka hanya “manut” dengan orang yang di sekitar mereka yang menjadi panutannya. Kampanye negatif ini dapat mengarah pada munculnya fitnah yang dapat merusak integritas daerah tersebut.
F.           PERAN MASYARAKAT  DALAM MEMBERANTAS KORUPSI
Otonomi daerah di negara kita telah banyak menciptakan kekuasaan. Kekuasaan untuk mempersubur korupsi di tanah air. Tak dapat disangkal bahwasanya sebuah kasus korupsi timbul karena adanya kesempatan dari sebuah kekuasaan. Sehingga semakin banyak kekuasaan yg diciptakan oleh otonomi daerah, maka semakin besar adanya  korupsi. Selain itu, otonomi daerah yang bertujuan untuk mempermudah segala akses hubungan antara pemerintah dengan rakyat, justru menyebabkan kegiatan prosedural yang sulit dan memakan waktu yang lama dikarenakan banyaknya kekuasaan-kekuasaan kecil yang harus dilewati dalam prosedur tersebut, sehingga muncullah beberapa kesempatan untuk melakukan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Oleh karenanya, pemerintah haruslah benar-benar tegas dalam menentukan sebuah kebijakan terhadap pencegahan timbulnya perbuatan korupsi yang disebabkan oleh kebijakan otonomi daerah itu sendiri. Karena sebuah badan pengawas ataupun para penegak hukum saja tidaklah cukup untuk memberantas korupsi dinegara kita. Diperlukan juga sebuah sikap pemerintah yang sangat bijaksana untuk membatasi tiap-tiap kekuasaan.
Dalam situasi yang demikian maka peran serta masyarakat menjadi semakin penting. Peran serta yang dimaksudkan adalah partisipasi publik atau keterlibatan masyarakat dalam mengontrol negara. Di samping untuk melakukan chek and balances terhadap jalannya penyelenggaraan pemerintahan, juga dimaksudkan sebagai upaya mempertahankan kelangsungan pemerintah dari ancaman delegitimasi publik.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Negara dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan peran serta masyarakat adalah peran aktif masyarakat untuk ikut serta mewujudkan Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang dilaksanakan dengan mentaati norma hukum, moral, dan sosial yang berlaku dalam masyarakat.
Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara untuk mewujudkan Penyelenggara Negara yang bersih dilaksanakan dalam bentuk:
a.       Hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi mengenai penyelenggaraan negara
b.      Hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari Penyelenggara Negara;
c.       Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab terhadap kebijakan Penyelenggara Negara; dan
d.      Hak memperoleh perlindungan hukum dalam hal:
1)      Melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c;
2)      Diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Peran serta masyarakat harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dengan menaati norma agama dan norma sosial lainnya. Masyarakat yang dapat berperan aktif melaksanakan fungsi kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintah adalah masyarakat yang memiliki kesadaran hukum tinggi. Artinya, masyarakat mengetahui dan mengerti aturan main dan perangkat-perangkat hukum yang diperlukan serta dapat meyakinkan kelompok masyarakat yang lain, maupun aparat penegak hukum terhadap upaya-upaya pemberantasan korupsi.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama